Tuesday, March 13, 2012

In Memoriam, Don Nitisastro

Dear kawan,

Seperti kita ketahui, Indonesia kehilangan seorang begawan ekonomi yang punya pengaruh sangat besar. Ide nya masih sahih untuk diimplementasikan di era modern ini. Sebelumnya saya berniat untuk mengulas ini secara detil, tapi salah seorang kolega saya di FEUI sudah mengulasnya dengan tuntas dan menarik. In Memorian, The Don.

*

*Oleh: Ari Perdana*)
*
*
*
*Bagian I: Sang ‘Don’
*
Ia duduk di kursi roda sambil menyalami setiap tamu yang datang. Tubuh
tuanya memang tidak memungkinkannya lagi berdiri lama, dan bergerak ke
sana-sini tanpa kursi roda. Tapi kemampuannya berbicara di depan umum
selama satu jam lebih, dengan artikulasi yang jelas dan alur pikiran yang
runut menunjukkan bahwa kerentaan fisik tidak menyebabkan penurunan
kemampuan otaknya.

Hari itu Prof. Widjojo Nitisastro kembali tampil di muka publik, di acara
peluncuran bukunya berjudul Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan
Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro. Buku lain yang juga diluncurkan hari
itu adalah Esai dari 27 Negara tentang Widjojo Nitisastro. Penghargaan dari
Para Tokoh, suntingan Prof. Arsjad Anwar, Prof. Aris Ananta dan Dr. Ari
Kuncoro. Acara itu juga menjadi semacam reuni lintas generasi sejumlah
ekonom Indonesia; kolega, asisten, murid hingga muridnya murid Widjojo.
Hadir di acara itu antara lain Prof. Emil Salim, Prof. JB Sumarlin dan
Prof. Subroto – beberapa yang masih tersisa dari generasi pertama ‘Mafia
Berkeley.’

Mafia Berkeley. Sebutan ini sudah melegenda. Pertama kali dicetuskan oleh
seorang aktifis-penulis ‘kiri’ AS, David Ransom dalam sebuah
artikel Rampart edisi 4 tahun 1970. Rampartadalah sebuah majalah yang
awalnya terbit sebagai media literatur kelompok Katolik, tapi belakangan
menjadi media kelompok ‘kiri baru.’ Majalah ini sendiri berhenti terbit
tahun 1975. Saya terus terang masih belum bisa mendapatkan akses ke artikel
yang ditulis Ransom. Tapi dari sejumlah literatur sekunder yang
mencantumkannya sebagai referensi, di situ Ransom menghubungkan Mafia
Berkeley dengan proyek AS (terutama CIA) untuk menggulingkan Sukarno,
melenyapkan pengaruh komunis di Indonesia, mendudukkan Suharto di kekuasaan
untuk menjalankan kebijakan politik dan ekonomi yang berorientasi pada
Barat, hingga mengaitkan Widjojo dkk. dengan pembantaian massal eks PKI di
akhir dekade ‘60an.

Saya bukan ahli sejarah yang bisa memberikan pendapat akademik mengenai
kebenaran ‘teori’ ini. Sejumlah hal yang dikemukakan di situ adalah fakta.
Adalah fakta bahwa antara pertengahan 1950an hingga awal 1970an, sejumlah
pengajar lulusan FEUI menjalani studi di University of California,
Berkeley, atas biaya Ford Foundation. Adalah fakta bahwa itu terjadi di era
perang dingin yang berlangsung hingga awal 1990an, dimana baik kubu
AS/Barat dan Uni Soviet/Komunis sama-sama bertarung dalam merebut pengaruh
di seluruh Negara di dunia. Para sejarawan juga setuju bahwa CIA memainkan
peran yang signifikan dalam kejatuhan Sukarno. Dan meski banyak pihak masih
berdebat soal berapa jumlah korban pembunuhan massal pasca-G30S, adanya
pembunuhan massal itu tidak lagi menjadi hal yang bisa disangkal. Tapi
bahwa berbagai hal itu benar terjadi pada kurun waktu yang berdekatan tidak
lantas membuat semuanya bisa disimpulkan sebagai berhubungan, apalagi
berhubungan sebab-akibat. Apalagi, seperti implikasi yang coba dibangun
oleh Ransom, menyimpulkan bahwa ada hubungan sebab-akibat antara tampilnya
Mafia Berkeley sebagai arsitek ekonomi Orde Baru dengan pembantaian massal
eks-PKI.

Lepas dari itu, istilah Mafia Berkeley sudah jadi sebuah nomenklatur klasik
dalam sejarah Indonesia. Kebanyakan digunakan secara peyoratif, menganggap
bahwa Mafia Berkeley memang benar-benar sebuah organisasi kriminal dengan
struktur dan kode etik tertentu bak novel The Godfather karya Mario Puzo.
Orang-orang seperti Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli, yang sempat menangani
tim ekonomi Indonesia pasca Suharto, menganggap Mafia Berkeley sedemikan
berpengaruhnya sehingga orang-orang seperti mereka yang datang dari luar
lingkaran Mafia tidak pernah bisa ‘tenang’ menjalankan peran mereka karena
selalu ‘digoyang.’ Kwik dan Rizal Ramli juga tidak pernah bosan menyalahkan
Mafia Berkeley atas berbagai masalah ekonomi Indonesia yang mereka hadapi
ketika menjabat menteri, meskipun orang-orang yang disebut sebagai Mafia
ini sudah bertahun-tahun pensiun. (Saya kira ini justru bentuk
ketidakpercayaan diri serta keengganan untuk mengakui terbatasnya kemampuan
mereka dari orang-orang seperti Kwik dan Rizal).

Banyak juga yang secara salah kaprah mengidentikkan Mafia Berkeley sebagai
kelompok pengusung dan pengadvokasi pasar bebas alias
ekonomi laissez-faires dan peran pemerintah yang seminim mungkin. Pendapat
ini tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Saya akan diskusikan hal ini
lebih di bagian berikut.

Istilah Mafia Berkeley sudah telanjur melekat. Prof. Widjojo, Emil Salim
dan lainnya juga agaknya tidak terlalu ambil pusing dengan istilah ini.
Saya kira istilah itu memang tidak perlu ditolak. Justru sebutan ‘mafia’
kepada Prof. Widjojo dkk. – dengan ‘Don Widjojo’ sebagai kepala keluarga,
alm. Prof. Sadli sebagai consigliere, Prof. Emil Salim dan lainnya sebagai
paracaporegime – menggambarkan satu hal: sebuah kelompok teknokrat yang
diikat oleh kesamaan visi, komitmen, chemistry serta trust. Ini semua yang
membuat komunikasi, koordinasi dan kerjasama di antara mereka dalam
mengeluarkan kebijakan ekonomi bisa berjalan efektif. Satu hal yang belum
bisa kita temukan lagi sekarang. Apalagi di dalam sebuah kabinet yang
disusun atas dasar terlalu banyak deal politik.

*Bagian II: Perencanaan atau Pasar?*

Nama Widjojo dkk. – para mafia dari Berkeley – seringkali disebut dalam
satu paragraf yang sama dengan kata-kata ‘pasar bebas’, ‘ekonomi liberal’
dan semacamnya. Betul, di bawah Widjojo dkk. ekonomi Indonesia mengalami
beberapa episode liberalisasi (sebagai catatan, Suharto juga tidak suka
dengan istilah ‘liberal’, maka terminologi yang saat itu digunakan adalah
‘deregulasi’). Tapi dalam tipologi aliran-aliran dalam ilmu ekonomi,
paradigma dan kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh Mafia Berkeley bukan
berada di spektrum yang lebih dekat ke Hayek-Friedman. Sebaliknya, Widjojo
dkk. justru lebih memiliki karakter ‘dirigista’ – dimana perencanaan
pembangunan dan peran pemerintah adalah faktor yang penting.

Itu tentu tidak terpisahkan dari konteks sejarah. Ketika Widjojo pergi ke
Berkeley, 1957-1961, Keynesian adalah paradigma ekonomi yang dominan saat
itu. ‘Revolusi neoklasik’ yang dicetuskan oleh Milton Friedman dan kelompok
Chicago baru terjadi di tataran pemikiran menjelang akhir ‘60an.
Pengaruhnya dalam orientasi kebijakan baru akan terjadi setelah krisis
minyak dan sejumlah episode hiperinflasi di pertengahan ‘70an.

Departemen Ekonomi di Berkeley sendiri punya tradisi yang lebih dekat ke
Keynesian ketimbang neoklasik. Kelak, di awal ‘70an hingga akhir ‘80an,
paradigma riset dan pengajaran ilmu ekonomi – khususnya ekonomi makro – di
universitas-universitas terbelah menjadi dua kubu. Satu kubu lebih melihat
pentingnya kebijakan dalam stabilisasi ekonomi. Paradigma ini dianut oleh
universitas-universitas yang lokasinya di pantai: Harvard, MIT, Yale,
Princeton, NYU atau Pennsylvania di Pantai Timur serta Stanford, Berkeley
dan UCLA di Pantai Barat. Kubu lain adalah yang mengedepankan analisis di
tingkat individu yang rasional, ketidakpastian serta inter-temporal. Kubu
ini lebih skeptis terhadap peran pemerintah. Penganutnya adalah
universitas-universitas yang lebih dekat ke Great Lakes: Chicago,
Minnesota, Wisconsin, Rochester, Carnegie-Mellon dan lainnya. Dua kubu ini
sering juga dirujuk sebagai kubu ‘air asin’ (saltwater) dan ‘air tawar’
(freshwater).

Di Berkeley, Widjojo dkk. lebih spesifik menekuni cabang ekonomi
pembangunan. Sub-disiplin ekonomi pembangunan saat itu belum seberagam
sekarang. Kebanyakan literatur masih fokus pada teori pertumbuhan.
Pendekatan yang dominan adalah model kesenjangan tabungan-investasi, dan
teori yang paling berpengaruh adalah Harrod-Domar (oleh Roy Harrod, 1939
dan Evsey Domar, 1946). Teori ini melihat bahwa satu faktor utama bagi
sebuah negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah investasi.
Karya Robert Solow yang kemudian menjadi teori pertumbuhan paling banyak
dirujuk – dan dalam banyak hal menunjukkan kelemahan teori Harrod-Domar –
baru terbit tahun 1956, dan perlu beberapa tahun sebelum teori itu cukup
berpengaruh.

#####

Selain Harrod dan Domar, literatur lain yang cukup berpengaruh di periode
itu adalah karya Walt Rostow, Stages of Growth: a Non-Communist Manifesto,
yang terbit di tahun 1960, menjelang Widjojo menyelesaikan studi. Rostow
menulis, ada lima tahapan modernisasi, dari masyarakat tradisional,
persiapan tinggal landas, periode tinggal landas, tahap menuju kematangan,
dan era konsumsi massal. Akumulasi investasi adalah kunci bagi sebuah
negara untuk bisa pindah dari satu tahap ke tahap lainnya.

Tentu saya tidak mengatakan bahwa Widjojo dkk. hanya membaca Keynes,
Harrod-Domar dan Rostow. Poin saya adalah pemikiran dan implementasi
kebijakan ekonomi Widjojo dkk. tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks
sejarah. Spesifiknya, seperti apa perkembangan dan dinamika ilmu ekonomi di
waktu dan lingkungan saat itu.

Saya juga tidak mengatakan bahwa Widjojo dkk. adalah antipasar. Sebaliknya,
sebagai ekonom yang taat pada pemikiran rasionalitas, buat Widjojo dkk.
proses pembangunan ekonomi dan alokasi sumber daya melalui mekanisme pasar
atau perencanaan adalah semata-mata pilihan. Seperti Widjojo menuliskan
dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi (1963), dan
dimuat ulang dalam buku Pengalaman Pembangunan Indonesia halaman 10:

Suatu masyarakat yang sedang membangun dapat mengambil keputusan tersebut
secara implisit dengan menyerahkannya kepada berbagai kekuatan ekonomi yang
terdapat dalam masyarakat tersebut. Akan tetapi, masyarakat yang
bersangkutan dapat pula mengadakan pilihan secara sadar dan berencana.

Dalam hal yang akhir ini terdapatlah suatu usaha pembangunan berencana yang
salah satu aktivitas pokoknya berbentuk perencanaan pembangunan.
Perencanaan ini pada asasnya berkisar kepada dua hal: yang pertama ialah
penentuhan pilihan secara sadar mengenai berbagai tujuan konkret yang
hendak dicapai … dan yang kedua ialah pilihan di antara cara-cara
alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai berbagai tujuan
tersebut.

Implementasi dari perencanaan pembangunan versi Widjojo dkk. terlihat dari
berbagai hal: Pembangunan Jangka Panjang (PJP), Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita – yang melewati usia sekolah di era Orde Baru tentu bisa
melihat kemiripan antara tahap-tahap yang dikemukakan Rostow dan tujuan
tiap Repelita serta Pembangunan Jangka Panjang), serta adanya institusi
seperti Bappenas atau Bulog, serta program Keluarga Berencana (Widjojo juga
seorang demografer, disertasinya tentang tren populasi Indonesia).

Di mana peran mekanisme pasar? Mengutip istilah Prof. Emil Salim, kebijakan
ekonomi yang mereka jalankan bisa disebut sebagai planning through market.
Artinya, sebagai perencana, pemerintah menetapkan sejumlah tujuan jangka
panjang dan jangka pendek. Pemerintah bisa menetapkan tujuan, dan dalam
beberapa hal bisa secara aktif memastikan agar tujuan-tujuan itu bisa
tercapai.

Contohnya, target inflasi adalah sekian persen. Pemerintah bisa
mengusahakan agar tujuan itu tercapai dengan, misalnya, mengontrol harga
pangan lewat Bulog (kelompok pangan, terutama beras, adalah penyumbang
utama inflasi). Tapi harga beras tetap merupakan hasil dari interaksi
permintaan dan penawaran. Pemerintah tidak bisa sepenuhnya mengontrol
permintaan (konsumen) dan penawaran (petani, pemilik beras yang
diproduksi). Pemerintah memang bisa memberikan insentif buat petani untuk
meningkatkan produksi. Namun usaha pemerintah tetap tunduk pada hukum
penawaran dan permintaan.

Saya sendiri melihatnya sebagai market through planning. Teori ekonomi
mengajarkan bahwa alokasi sumber daya yang terjadi lewat mekanisme pasar
adalah kondisi ideal. Tapi kondisi itu menyaratkan sejumlah hal, terutama
bahwa pasar eksis dan bekerja sempurna. Di akhir ‘60an dan awal ‘70an,
jangankan berkerja sempurna – banyak pasar bahkan tidak eksis (pasar saham
dan surat berharga adalah satu contoh). Sejumlah institusi dan
infrastruktur yang menjadi prasyarat bagi mekanisme pasar harus dibentuk
dulu.

Ini menjadikan hubungan antara frase ‘Mafia Berkeley’ dan ‘ekonomi pasar’
adalah sesuatu yang kompleks. Kita perlu memahami sejumlah konteks – mulai
dari spektrum yang ada dalam ilmu ekonomi soal pasar dan peran pemerintah,
hingga kebijakan seperti apa yang dijalankan oleh tim ekonomi yang
digawangi oleh Widjojo dkk, termasuk kondisi seperti apa yang
melatarbelakangi kebijakan itu diambil.

Satu hal, Widjojo dkk. berangkat dari tradisi ilmu ekonomi yang berbeda
dengan aliran Chicago. Pemahaman ini jadi penting karena di masa sekarang,
banyak yang menempatkan frase ‘neoliberalisme’ dengan ‘Milton Friedman’ dan
‘Mafia Berkeley’ dalam satu paragraf, bahkan kalimat, yang sama. Ini
menunjukkan betapa seringnya jargon neoliberalisme digunakan tanpa
kredibilitas. Tapi, buat saya, apa yang dilakukan Widjojo dkk. adalah
meletakkan fondasi bagi mekanisme pasar untuk bisa eksis dan bekerja dalam
ekonomi Indonesia.

Terlepas dari soal mekanisme pasar, ada satu hal lebih mendasar yang
diperkenalkan oleh Widjojo Nitisastro dalam konteks kebijakan ekonomi di
Indonesia: logika ekonomi. Kalimat di atas mungkin terkesan lucu. Tapi
itulah kondisi yang terjadi di tahun-tahun terakhir kekuasaan Sukarno.
Persoalan ekonomi “dibiarkan terbengkalai, dianggap soal kecil ataupun
bukan soal.” Sementara itu, “prinsip-prinsip ekonomi yang bersumber pada
pikiran rasional diangap tidak perlu” (hal. 47-48, aslinya merupakan uraian
Widjojo sebagai moderator bidang ekonomi pada Simposium ‘Menjelajah Tracee
Baru’ di UI, 6-9 Mei 1966).

*Bagian III: Logika ekonomi*

Dalam tulisannya yang jadi pengantar buku ‘Pengalaman Pembangunan
Indonesia, Emil Salim menulis lebih dalam soal dikesampingkannya logika
ekonomi dalam pengambilan kebijakan di periode itu.

Di paruh pertama dekade ‘60an, 45 persen APBN dialokasikan untuk
pengeluaran militer. Ini tidak lepas dari keputusan politik untuk merebut
kembali Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Selain militer, APBN
terserap untuk sejumlah proyek mercu suar. Ini semua dibiayai lewat,
terutama, mencetak uang.

Akibatnya, volume uang beredar jadi tidak terkendali. Teori ekonomi
mengajarkan, ada hubungan positif antara uang beredar dan inflasi. Ini yang
menjebabkan inflasi terbang ke angka 100 persen antara 1962-64, dan 650
persen dari Desember 1964-Desember 1965. Selain inflasi, neraca
perdangangan juga mengalami defisit parah, dan cadangan devisa turun dari
326,4 juta dolar AS (1960) menjadi hanya 8,6 juta dolar AS (1965).

Hutang luar negeri saat itu berjumlah 2,4 milyar dolar AS; hampir
separuhnya digunakan untuk pos militer (hal ix-x). Kebijakan ini mungkin
punya hal positif bagi pembagunan karakter bangsa dan semangat
nasionalisme. Tapi tidak bagi kesejahteraan.

Di tahun-tahun awal Orde Baru (1966-71), setelah Widjojo dkk. menggawangi
pos kebijakan ekonomi, stabilisasi harga adalah prioritas utama. Salah
satunya adalah mendisiplinkan pengeluaran pemerintah.

Hasilnya, inflasi berhasil diturunkan. Karena inflasi turun, pendapatan
riil penduduk, terutama buruh/karyawan di perkotaan, naik secara
signifikan. Dampaknya terhadap kesejahteraan terlihat dari turunnya jumlah
penduduk miskin serta tingkat ketimpangan (lihat Anne Booth dalam Bulletin
of Indonesian Economic Studies, April 2000).

Hubungan antara defisit anggaran, uang beredar dan inflasi adalah satu
contoh sederhana dari logika ekonomi yang dilupakan oleh pemerintahan
Sukarno, sekaligus salah satu instrumen awal yang digunakan Widjojo dkk.
dalam membenahi warisan problem ekonomi.

Contoh lain – juga diceritakan ulang oleh Emil Salim – adalah hubungan
antara permintaan, penawaran dan harga. Dalam menghitung volume produksi
beras, pemerintah pusat menerima laporan dari pejabat di daerah dan Biro
Pusat Statistik. Tentu banyak error, bias dan inkonsistensi dari angka yang
dilaporkan. Bisa karena murni kesalahan statistik, bisa juga karena
kecenderungan pejabat daerah melaporkan lebih tinggi dari yang sebenarnya.

#####

Namun hukum penawaran mengatakan, kalau penawaran sedikit, harga akan naik.
Kalau laporan mengatakan jumlah produksi berlimpah tapi harga beras tidak
turun, bahkan naik, tentu ada masalah dalam angka-angka yang dilaporkan.
Sebagai Ketua Bappenas, Widjojo menginstruksikan bawahannya untuk
menggunakan ‘harga beras pada musim panen’ sebagai indikator
tinggi-rendahnya produksi beras, bukan perkiraan pejabat daerah (hal.
xix-xx).

Pidato pengukuhan Widjojo sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi (1963) memuat
pemikiran yang lebih detail tentang penggunaan economic inner logic untuk
keperluan perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan. Widjojo
membahas dengan baik sekali, dan dengan bahasa yang sederhana, tentang
kegunaan analisis ekonomi:

Yang diusahakan oleh analisa ekonomi bukanlah diperolehnya pengertian yang
serba lengkap mengenai keseluruhan yang serba kompleks tersebut, melainkan
“… berbagai hubungan umum yang terdapat di antara gejala-gejala ekonomi
tertentu” (hal 12).

Widjojo kemudian membahas mengenai penuangan analisis ekonomi dalam bentuk
persamaan matematika. Di dalam persamaan matematika, ada variabel, ada
parameter (yang besarannya konstan). Variabel bisa dibedakan sebagai
variabel eksogen dan endogen; dan mana yang dikuasai oleh pengambil
keputusan (variabel kebijakan atau instrumen), dan mana yang harus diterima
sebagai given.

Formulasi matematis dalam analisis ekonomi memiliki sejumlah kelebihan:
penajaman perumusan pengertian dan hubungan antara variabel, pernyataan
asumsi secara eksplisit, konsistensi logis antara asumsi dan kesimpulan
bisa diuji, interdepenensi antara berbagai gejala ekonomi bisa lebih mudah
ditunjukkan dan dikaji lebih jauh, dan langkah selanjutnya yaitu pengukuran
dan pengujian empiris bisa dilakukan (hal. 15).

Model ekonomi, dengan demikian:
“… dapat membantu pengambil keputusan mengambil tindakan secara rasional,
dalam arti bahwa pengambil keputusan telah memperhitungkan serta
membanding-bandingkan akibat berbagai tindakan alternatif yang dapat ia
ambil” (hal 15).

Bukan berarti Widjojo memproklamasikan supremasi pendekatan
ekonomi-kuantitatif atas disiplin ilmu atau pendakatan lainnya. Di pidato
yang sama, ia juga membahas soal kelemahan pendekatan ini. Pertama, pada
dasarnya penggunaan matematika dalam analisis ekonomi adalah reduksi dan
simplifikasi atas masalah yang kompleks dan seringkali nonlinier. Widjojo
menegaskan bahwa matematika adalah perangkat untuk mempertajam perumusan.
Penelaahan secara institusional dan perumusan konsep secara kualitatif
tetap tidak bisa ditinggalkan (hal. 14).

Kedua, Widjojo menggarisbawahi bahwa masalah produksi dan pertumbuhan
ekonomi bukanlah semata-mata gejala ekonomi. Kerjasama antara disiplin
ekonomi dan ilmu sosial lain akan sangat berguna dalam memahami sebuah
masalah. Menariknya, di paragraf yang sama ia juga menuliskan bahwa
“kerjasama antara berbagai ilmu pengetahuan tidak selalu memberikan hasil
yang memuaskan dan mungkin mengandung hal-hal yang mengecewakan (hal. 27).”
Sayang ia tidak membahas lebih lanjut tentang hal ini, jadi saya tidak bisa
menangkap konteks dan maksud dari adanya pernyataan yang terdengar paradoks
itu.

Jika pidato pengukuhan Guru Besar itu adalah ringkasan dari pemikiran
ekonomi Widjojo, maka pidato itu bisa dilihat sebagai dasar dari sintesis
antara pemikiran akademis dan kebijakan publik. Sebuah proses pengambilan
kebijakan yang didasarkan atas pendekatan ilmiah, dalam hal ini teori
ekonomi yang diimplementasikan dalam kebijakan pembangunan ekonomi.
Artinya, teori (ekonomi) bukan hanya berhenti sebagai sebuah produk ilmiah,
tapi menjadi landasan bagi kebijakan. Sebaliknya, pengambilan kebijakan
juga tidak semata-mata didasarkan pada retorika yang heroik atau deal
politik, melainkan punya pijakan pada landasan ilmiah.

Sintesis antara akademik dan kebijakan publik ini (kemudian) dikenal dengan
istilah teknokrasi. Pengambil kebijakan yang berasal dari kalangan
akademis-profesional dikenal sebagai teknokrat. Widjojo dkk. kemudian
menjadi sebuah model atas sebuah kelompok teknokrat yang menggawangi
kebijakan publik (ekonomi) di sebuah negara. Tidak semua melihat model ini
sebagai ideal. Tidak sedikit yang bahkan menganggap teknokrasi ala ‘Mafia
Berkeley’ sebagai anti-demokrasi, bahkan ‘kecelakaan sejarah.’

*Bagian IV: Kritik*

Tulisan dan pandangan kritis terhadap Mafia Berkeley sudah tidak terhitung.
Tentu kebijakan ekonomi Widjojo dkk, dan bagaimana proses pengambilan
kebijakan dilakukan, bukan hal yang bebas kritik. Tapi kita juga tidak bisa
melepaskan apa dan bagaimana kebijakan ekonomi yang diambil saat itu dengan
kondisi obyektif yang saat itu. Ekonomi Indonesia dalam keadaan kacau,
negara nyaris bangkrut (bahkan tidak punya uang untuk membetulkan pagar
Istana Negara).

Sementara itu stok akademisi yang punya latar belakang ekonomi tidak
banyak. Widjojo dkk. sendiri pergi ke Berkeley untuk mengisi kebutuhan staf
pengajar FEUI yang hingga akhir 1950an kebanyakan punya latar belakang ilmu
hukum, bukan ekonomi. Dengan kata lain, ketika melontarkan kritik kita juga
perlu bertanya beberapa hal: apa pilihan yang tersedia saat itu, dan
seberapa feasible? Apa trade-off kalau yang diambil adalah pilihan
alternatif yang tersedia itu? Apa counterfactual yang akan terjadi?

Secara umum, ada dua hal besar yang jadi sasaran kritik: 1) paradigma dan
esensi kebijakan ekonomi yang dianut oleh Widjojo dkk., dan 2) adanya
dominasi sebuah kelompok teknokrat atas pengambilan kebijakan publik.

Kritik jenis pertama kebanyakan mempermasalahkan kebijakan ekonomi yang
berorientasi pada sistem ekonomi pasar, pro-Barat, bertumpu pada hutang
luar negeri, dan semacamnya. Saya justru menganggap Widjojo dkk. kurang
propasar. Buat saya, kebijakan ekonomi Widjojo dkk. yang bersifat dirigista
justru memberikan ruang yang terlalu besar buat negara dalam kegiatan
ekonomi. Negara (pemerintah pusat) menjadi institusi yang terlalu besar,
kuat dan berkuasa. Implikasinya, ini memberikan legitimasi yang begitu
besar pada negara ketika kemajuan ekonomi bisa dicapai. Legitimasi dari
kondisi ekonomi ini memberikan insentif bagi Orde Baru untuk bertindak
tidak demokratis.

Tapi kemudian posisi kritik ini menjadi dilematis. Apakah jadinya Widjojo
dkk. bersalah karena memberikan legitimasi pada Suharto lewat kemajuan
ekonomi, dan legitimasi itu digunakan Suharto untuk bertindak tidak
demokratis? Karena kalau ya, sama saja dengan mengatakan harusnya Widjojo
dkk. tidak membuat kebijakan yang membawa perbaikan ekonomi.
Tentu kondisi yang ideal adalah kalau kemajuan ekonomi bisa terjadi tanpa
memberikan legitimasi yang besar bagi Suharto. Ini bisa terjadi jika dari
awal perekonomian lebih bertumpu pada mekanisme pasar. Masalahnya, kondisi
objektif saat itu memang tidak memberikan banyak pilihan.

Pemerintah mau tidak mau harus berperan besar di sebuah negara dimana
fondasi dan infratruktur yang kokoh untuk ekonomi pasar belum tersedia,
warisan dari orientasi kebijakan Orde Lama yang menempatkan politik sebagai
panglima. Ini membuat kritik saya bahwa Widjojo dkk. sebagai kurang
propasar menjadi tidak kontekstual.

Saya kira Widjojo dkk. saat itu punya gambaran bahwa ketika landasan
kelembagaan sudah lebih kuat, perlahan-lahan dominasi negara akan
dikurangi, dan mekanisme pasar akan lebih berperan sebagai mekanisme
alokasi sumber daya lewat serangkaian deregulasi dan liberalisasi.
Liberalisasi tahap pertama adalah liberalisasi neraca modal, sebagai bagian
dari stabilisasi ekonomi antara 1966-1971.

Intinya, tujuan kebijakan ini adalah membuka capital account Indonesia
supaya modal asing, baik dalam bentuk PMA atau pinjaman punya insentif
untuk masuk. Ini adalah sebuah langkah yang sampai sekarang banyak
dikritik. Satu kubu pengritik mengatakan, kebijakan ini sama dengan menjual
bangsa Indonesia kepada modal asing.

Masalahnya, lagi-lagi ini persoalan pragmatis, bukan ideologis, sekaligus
persoalan kontekstual. Banyak yang lupa, di tahun 1966-67, negara dalam
keadaan nyaris bangkrut, dan inflasi meroket. Sumber penerimaan domestik
nyaris tidak ada, jangan dulu bicara penerimaan pajak.

Tidak mungkin membiayain anggaran dengan mencetak uang. Selama ini
pemerintahan Sukarno mengandalkan hutang dari negara blok Komunis, yang
setelah 1966 tidak lagi mau memberikan pinjaman. Sementara negara tetap
perlu uang untuk membiayai pembangunan.

Saya tidak tahu, jika mereka yang mengritik kebijakan liberalisasi neraca
modal dengan argumen nasionalisme dari kacamata sekarang berada dalam
posisi Widjojo dkk. saat itu, kira-kira langkah apa yang akan mereka ambil.
Dan persoalannya juga bukan berhutang atau tidak, karena kenyataannya
pemerintahan Sukarno juga berhutang, dan hutangnya terus naik.

Saya pun pernah punya kritik terhadap kebijakan ini. Merujuk pada buku
MacKinnon (1971), tahapan liberalisasi yang ideal adalah dimulai dari
liberalisasi sektor riil, kemudian perdagangan, baru modal dan investasi.
Yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Tapi, pada akhirnya ini adalah
masalah apa yang ideal dalam buku teks dengan kenyataan. Bahwa liberalisasi
di Indonesia dimulai dari neraca modal terjadi karena dorongan keadaan.
Sekali lagi kritik saya pada Widjojo dkk. jadi kehilangan konteks sejarah.

* * *

Gagasan tentang liberalisasi ekonomi juga tidak serta-merta bisa diterapkan
dalam bentuk kebijakan, meski Widjojo dkk. ada di posisi pengambil
kebijakan. Di tahun ’70an, ketika kenaikan harga minyak menyebabkan
kenaikan signifikan atas penerimaan pemerintah, negara punya sumber daya
lebih besar untuk tidak tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi pasar.

Di periode itu dibangun banyak proyek industri padat modal seperti
petrokimia, yang antara lain didorong oleh uang dari rejeki minyak. Ini
bertentangan dengan economic inner logic karena kebijakan industri yang
demikian tidak sejalan dengan teori keunggulan komparatif. Sebagai negara
dengan banyak penduduk, keunggulan komparatif Indonesia adalah
industri-industri padat karya.

Dan tujuan pembangunan lima tahun di periode awal adalah membangun industri
yang menghasilkan barang jadi. ’Tanda tangan’ Mafia Berkeley tidak terlihat
dalam orientasi kebijakan seperti ini. Widjojo tetap berusaha agar rejeki
minyak bisa digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Salah satunya adalah
program SD Inpres, yang menjadi salah satu program pembangunan
infrastruktur pendidikan dengan skala terbesar dalam sejarah pembangunan
ekonomi negara-negara di dunia.

Liberalisasi tahap berikutnya baru bisa terjadi di awal dan pertengahan
‘80an. Itu pun karena dorongan keadaan: jatuhnya harga minyak. Pemerintah
tidak lagi bisa mengandalkan penerimaan minyak untuk membiayai pembangunan.
Maka pembangunan ekonomi sekarang harus bertumpu pada pelaku swasta
(non-pemerintah). Caranya adalah mendorong ekspor non-migas, terutama dari
sektor industri padat karya. Sumber pendanaan investasi dari dalam negeri
juga harus didorong.

Di sini pun terlihat bahwa meski jatuhnya harga minyak memaksa negara untuk
mengurangi dominasinya dalam kegiatan ekonomi, tetap ada batas-batas bagi
gagasan liberalisasi untuk dijalankan. Liberalisasi ekonomi akan mengancam
penerimaan rente yang selama ini dinikmati oleh kelompok kepentingan,
terutama mereka yang dekat dengan kekuasaan. Dan Widjojo dkk., meski banyak
orang mengira mereka begitu berkuasa, tetap tidak bisa menembus ruang-ruang
ini.

Itulah mengapa liberalisasi di periode ‘80an terjadi di sektor keuangan dan
perbankan (lewat kebijakan deregulasi yang dikenal dengan PAKTO dan PAKNO).
Memang ada alasan objektif untuk meliberalisasi sektor keuangan. Iklim
finansial yang represif tidak akan mendukung tujuan untuk mengembangkan
industri dan meningkatkan ekspor non-migas.

Tapi ada juga alasan ekonomi-politik: pemain di sektor perbankan saat itu
belum banyak. Tekanan dari para kroni dan kelompok kepentingan juga lebih
kecil dibanding meliberalisasi, misalnya, terigu atau kelapa sawit.
Deregulasi perbankan di periode ‘80an membuat krisis akibat jatuhnya harga
minyak tahun ’82 bisa dilewati.

Bahkan setelah itu Indonesia mengalami era pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Widjojo sendiri sejak 1983 tidak lagi masuk di kabinet. Masih ada Subroto,
Emil Salim, Ali Wardhana, JB Sumarlin, lalu Arifin Siregar, Radius Prawiro,
Rahmat Saleh, lalu belakangan SB Joedono.

* * *

Kelompok kritik yang kedua mempermasalahkan dominasi kelompok teknokrat
seperti Mafia Berkeley dalam kebijakan publik. Selain itu, banyak kebijakan
yang diambil tidak transparan dan melalui sebuah perdebatan publik. Dengan
kata lain, adanya Mafia Berkeley mencederai demokrasi. Saya bukan ahli
politik, dan saya akui saya tidak punya cukup argumen akademis untuk
membahas soal ini. Tapi ada dua tanggapan umum.

Pertama, soal transparansi pengambilan kebijakan. Saya kira, problemnya ada
pada keseluruhan proses pengambilan kebijakan di era Suharto. Tidak salah
jika dikatakan proses pengambilan kebijakan ekonomi saat itu tidak
transparan. Demikian halnya kebijakan hukum, politik (ingat lima UU
politik), sensor buku, media dan film, hingga berbagai keputusan terkait
IPTN, mobil nasional dan sebagainya. Lalu apa yang membuat Mafia Berkeley
dan kebijakan ekonomi jadi lebih tidak demokratis dibanding lainnya?

Kedua, soal dominasi Mafia Berkeley dalam kebijakan. Hal ini sesungguhnya
masih sangat diperdebatkan. Benarkah Mafia Berkeley demikian berkuasanya
menentukan arah kebijakan? Pada akhirnya Widjojo dkk. tetap hanya salah
satu dari sejumlah ‘aktor’ yang berkompetisi atas pengaruh.

Bahkan dalam bidang ekonomi, ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa peran
Widjojo dkk. tetap terbatas. Meski menggunakan ekonomi sebagai fondasi
untuk mendapatkan legitimasi, negara Orde Baru punya logika sendiri. Dan
ini justru menunjukkan bahwa dominasi Widjojo dkk. dalam mempengaruhi
kebijakan Suharto tidak sebesar dan sedominan yang banyak digambarkan.

Ada ruang-ruang dimana Widjojo dkk. tetap tidak bisa mempengaruhi Suharto.
Contohnya adalah mismanajemen penggunaan penerimaan negara dari rejeki
minyak tahun yang berujung pada krisis Pertamina tahun ‘70an. Uang yang
berlimpah mendorong Pertamina melakukan ekspansi berlebihan ke kegiatan
yang ada di luar bisnis intinya, seperti membangun hotel, perusahaan
penerbangan dan sebagainya.

Pertamina saat itu adalah sebuah ‘negara di dalam negara’ yang dikuasai
oleh klik di luar Mafia Berkeley. Contoh lain adalah proteksi terhadap
industri terigu yang diberikan hingga bertahun-tahun adalah contoh lain.
Pemegang monopoli terigu adalah kelompok usaha Salim yang dekat dengan
Suharto.

Beberapa kali Widjojo dkk. meminta Suharto untuk menghapus monopoli terigu,
karena konsumen yang kebanyakan penduduk miskin akan diuntungkan dengan
harga terigu yang lebih murah. Tapi usaha ini selalu kandas, bahkan hingga
era ’90an saat SB Joedono menjabat Menteri Perdagangan.

Peran kelompok Widjojo dkk. juga makin turun memasuki ‘90an, ketika
percaturan politik-ekonomi juga berubah. Di sisi bisnis, liberalisasi
membuat posisi kelompok pengusaha relatif terhadap penguasa makin besar.

Selain itu banyak juga kelompok-kelompok bisnis baru – termasuk putra-putri
Suharto yang sudah beranjak dewasa – dengan kepentingan yang beragam. Dan
seringkali kepentingan mereka tidak sejalan dengan gagasan liberalisasi
ekonomi. Jadi ironis karena liberalisasi tahap awal memberi ruang buat
swasta untuk lebih berperan. Tapi ketika mereka mendapat tempat, mereka
melobi kekuasaan untuk mengurangi liberalisasi ekonomi.

Di sisi politik, pola patron-clientship makin kompleks dan dinamis. Banyak
kelompok baru yang berkompetisi untuk mendapatkan akses ke Suharto.
Termasuk kelompok teknolog yang mengusung ide tentang kebijakan ekonomi
yang lebih ‘nasionalis’ (baca: inward-looking dan proteksionis).

Meski posisi kunci bidang ekonomi masih dipegang oleh Mafia Berkeley (dalam
arti lebih luas), pengaruh mereka secara umum makin turun. Di saat yang
sama, Suharto juga merasa perlu merangkul aliansi dengan kelompok teknolog
serta Islam. Peran kapitalis kroni juga makin besar, terutama yang
melibatkan putra-putri Suharto.

Hasilnya adalah periode ‘90an yang ambivalen. Liberalisasi ekonomi tetap
berlanjut, dengan bergabungnya Indonesia ke dalam WTO dan APEC serta
sejumlah deregulasi investasi. Di saat yang sama kita juga melihat berbagai
kebijakan yang proteksionis dan inward-looking seperti subsidi untuk IPTN
yang diambil bukan hanya dari APBN tapi dari dana non-budgeter, tata niaga
cengkeh dan jeruk (yang diberikan pada Tommy Suharto dan Tutut), serta
proyek mobil nasional (lagi-lagi Tommy).

*Bagian V: Penutup*

Terlalu banyak yang bisa ditulis tentang Widjojo Nitisastro dan Mafia
Berkeley. Tapi di bagian penutup ini saya hanya ingin mengangkat tiga hal.

Pertama, apakah keberadaan Mafia Berkeley dalam sejarah politik-ekonomi di
Indonesia adalah sesuatu yang by design? Saya selalu punya masalah dengan
pandangan serba konspiratif yang melihat bahwa segala sesuatu adalah hasil
dari sebuah desain besar, dan semua individu adalah instrumen dari sebuah
kepentingan. Tidak ada ruang bagi independensi individu dalam kerangka
berpikir demikian. Tidakkah dunia jadi menjemukan kalau begitu?

Tentu kita tidak bisa menampik bahwa pemerintah AS punya kepentingan dengan
membiayai sejumlah akademisi Indonesia untuk belajar di negeri mereka.
Pemerintah Uni Soviet juga memberikan beasiswa untuk banyak pelajar
Indonesia ke Moskow dan Jerman Timur di periode yang kurang lebih sama.
Semua pihak di era perang dingin punya kepentingan, dan saling bertarung
untuk merebut pengaruh di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Semata-mata demi argumen – jika benar Mafia Berkeley adalah bagian dari
proyek AS di era perang dingin, mengapa AS berhasil, sementara Uni Soviet
atau RRC gagal? Jika Sukarno begitu dicintai, mengapa ia tidak berhasil
membuat seluruh rakyat berpihak padanya di sekitar 1966? Jika ide-ide besar
komunisme (PKI) begitu menarik, kenapa itu tidak cukup? Jawaban yang saya
ajukan adalah karena ide-ide besar itu tidak sejalan dengan kondisi ekonomi
yang baik. Bahkan, cara Sukarno merealisasikan ide-ide besarnya membuat
situasi ekonomi lebih buruk.

Dengan kata lain, Mafia Berkeley adalah salah satu dari beberapa multiple
equilibrium. Benar, ada kepentingan di sana. Tapi kepentingan saja tidak
akan cukup jika kondisi ekonomi dalam negeri saat itu masih cukup baik.
Kepentingan dan krisis ekonomi saja tidak cukup jika Widjojo dkk. tidak
punya visi, gagasan tentang perbaikan ekonomi serta kemampuan untuk
menjalankan gagasan itu.

Kedua, seberapa besar dominasi Mafia Berkeley dalam menentukan keputusan
akhir kebijakan ekonomi di Indonesia? Dari uraian di atas, saya menunjukkan
bahwa Widjojo dkk. bukanlah kelompok teknokrat yang punya cek kosong atas
semua kebijakan pemerintah. Dalam sejumlah hal, Widjojo dkk. memang bisa
meyakinkan Suharto untuk menjalankan kebijakan yang sesuai dengan gagasan
mereka (lihat kisah waktu Widjojo meyakinkan Suharto untuk mendevaluasi
Rupiah di tahun 1986, padahal setahun sebelumnya Suharto baru mengumumkan
bahwa tidak akan ada lagi devaluasi di bab 17). Tapi ada ruang-ruang dimana
Suharto tidak mau menegosiasikan posisinya pada Widjojo dkk. Ketika ini
terjadi, keputusan akhir tetap ada pada Suharto.

Dalam jargon akademis, ini menunjukkan bahwa hipotesis ’negara teknokratis’
dan ’negara komprador’ (Robison 1986) tidak sepenuhnya terbukti. Orde Baru
lebih menunjukkan pola ’negara patrimonial’ (Anderson 1983), dimana Suharto
memosisikan diri sebagai pusat kekuasaan. Di akhir ’80-an dan ’90an,
lansekap politik-ekonomi menunjukkan pola ’pluralisme terbatas’ (Liddle
1991, senada dengan MacIntyre 1990 meski istilah pluralisme terbatas
dicetuskan oleh Liddle).

Ketiga, bagaimana melihat relevansi model Mafia Berkeley dalam konteks
sekarang?
Banyak yang berpendapat, kebijakan publik sebaiknya tidak diserahkan pada
satu kelompok teknokrat. Saya tentu lebih suka jika pengambilan kebijkan
ekonomi lebih ditentukan oleh sistem ketimbang individu atau kelompok.

Tapi secara pribadi saya merasa Indonesia beruntung mendapatkan Widjojo
dkk. di tahun 1967 yang membawa economic inner logic ke dalam kebijakan.
Seperti halnya Indonesia beruntung mendapatkan ekonom-ekonom seperti
Boediono, Sri Mulyani, Mari Pangestu, Armida Alisjahbana, juga Chatib
Basri, Anggito Abimanyu, Moh. Ikshan atau Raden Pardede, yang menjaga
economic inner logic di pemerintahan sekarang.

Di sisi lain, mereplikasi model Mafia Berkeley juga tidak mudah. Stok
ekonom generasi sekarang datang dari universitas yang beragam. Bahkan yang
punya latar belakang sama, misalnya lulusan FEUI (karena hanya itu yang
bisa saya jadikan contoh), ada perspektif yang cukup plural dalam memandang
kebijakan ekonomi seperti apa yang harus diambil, dan bagaimana. Ada lowest
common denominator yang dipercaya bersama. Tapi lowest common denominator
ini pun makin kecil.

Meski demikian, pengalaman Widjojo dkk. menunjukkan bahwa – sekali lagi –
kesamaan visi, komitmen, chemistry serta trust di antara pembuat kebijakan
adalah variabel penting dalam pengambilan kebijakan. Itu yang selalu saya
ingat ketika istilah ‘Mafia Berkeley’ ada dalam benak saya. (SELESAI)

Wednesday, March 7, 2012

My New Book

Tuesday, March 15, 2011

Crisis in Japan, a Moment to Bounce Back

Japan experienced its worst earthquake since hundreds of years. As the most advanced country in the area earthquake anticipation, Japan has built its buildings that have the quality to stand still up to 9 Richter scale earthquakes. Later on, it was proven that the earthquake only made minor damage for the infrastructure; it was the aftershocks that took form as tsunami which created the moment of despair. Not to make it worst, the quake was also followed by the nuclear leak in Fukushima. For a country endeavoring recession for over a decade, the tragedy is deemed to become stumbling blocks toward the process of Economic recovery. Looking back to the history, Japan had similar problem when atomic bomb demolished Nagasaki and Hiroshima. Back then, many would believe that Japanese would have gone deeper into slump. But as we can see, after the tragedy, Japanese development went beyond all odds.

The Nagasaki-Hiroshima bombing which took place in 1945 made them to be united and went together to restore the country. Japanese are famously known as hardworking people, riffled with this character Japanese Economy went sky rocketing. They have legendary word that reflects their hardworking character: ganbatte! The word simply translated as do your best! A simple word as it is but it has deep meaning.

I remember one time when my friend was on the park playing badminton with his friend. They did not know that there was a little Japanese boy watching their game until he came begging to be taught how to play badminton. So, they taught him how to handle the racket and hit the shuttlecock. They started to laugh when the boy repeatedly failed hitting the shuttlecock. But, their laugh soon became into an amazement when the boy tried again and again, pushing himself to the edge. They tried to stop him since they saw the boy getting tired but then he refused to stop. What a spirit!

Toshiro Tanimoto, professor in the Department of Earth and Planetary Sciences, University of Tokyo, told the CNN: “I grew up in this country, but I am still amazed at the people's patience and civility. But I also know how they can remain so civil. They trust that food will come somehow. They trust the government and know their share will come. They have faith!”

The Tokyo electric company (TEPCO) has already started to roll blackouts since yesterday around the city. Faith keeps most of the people to stay calm, although some might have grudge against it. The people trust the government, that what counts more.

The combination of hard work, trust and hope will help this country to survive. As has been said by the Prime Minister Naoto Kan: “This was the worst crisis since World War II. But this country built the world's second-strongest economy in 40 years, starting from ashes. The ashes along the Fukushima coast might contain more radiation now. But I know this country can do it again”

it is not about citizenship
it is beyond racial border
it is a social movement
Across the region
Passing the lines of religion
It is about us as god's creation

Pray for Japan

Saturday, February 5, 2011

The Downfall of a Regime: Lessons Learned

Every regime has its crack that leads to downfall. The cracks have multiple forms from the most delicate to the most simple. One of the most delicate crack was found in the downturn of Suharto Regime which took form as currency crisis. The crisis overwhelmed a 32 years old regime with its massive magnitude. But, as noted earlier, the downfall of a regime does not always associated with a delicate crack, Tunisian case serves to be one of the delicacy. A Tunisian man who burned himself to death in December to protest against high unemployment, setting off weeks of rioting that led to the ouster of the country's president and inspired similar revolutions in the neighboring countries. We can say that Indonesia today is still far from the so called social upheaval not to mention that the absence of authoritarian regime. But the giant party coalition that led the government has been acting as a new regime that may sparks sorrow picture for democracy.
Dominant parties may eventually lead to an absolute power, they form an oligopolistic collusion which eliminates all odds. In Oligopoly, a few large parties dominate the system resulting in a high degree of political concentration. Parties in oligopoly are usually very much aware of each others' actions. This can lead to political collusions as they match their action with others. The Dominant parties included in the collusion will then create Stackelberg’s first-mover advantage followed by mediocre parties in the system.
Corruption is deemed as the finest product created by the first-mover advantage system. It pilots to a widening in gap between rich and poor. Corruption has a powerful attribute which impedes economic growth by the dysfunction of a political system or institution in which government officials, political officials or employees seek illegitimate personal gain through actions such as bribery, extortion, cronyism, nepotism, patronage, graft, and embezzlement. Ehrlich and Lui (1999) argue that investment in political capital, or so-called ‘rent seeking’, consumes economic resources that could otherwise be used for production or investment in human capital. Meon and Sekkat (2005), meanwhile, demonstrate that lower quality of governance leads to larger negative impact of corruption on investment.
Corruption in any form is treated as chronic sickness causing of many social and economical evils in the society so does it damages the moral and ethical fibers of the civilization. Certainly, it is correct that corruption breeds many evils in the society & once corruption start take place, slowly and gradually whole country passes through its net until it become permanent disease. So far Indonesian economic is concerned the slow progress of the war against corruption is the result of lack of decision making at higher level that is besieged by the shallow political desires. Moreover, political configurations are important to the extent that they are "configuring: that is, to the extent that they establish laws and orders effectively governing political conduct. Eventually, the actors involved will create a save passage in laws which they established.
Even so, the system still has its crack which can break down the evil foundation. Przeworski (1991) argued that the crucial element in the survival of democratic regimes lies in their capacity to generate incentives such that political groups that lose still have more to gain from competing within a democratic framework than they do from overturning it. What counts more for democracy is whether economic needs are being met, and the degree to which reforms result in unemployment, poverty and reduced inequality. The absence of such action will only create cracks leading to downfall.
Some cracks were emerging in the last few months. The first one happens to be the all time gangster epic story when public saw Gayus wandering around while he was supposed to be in a state of detention. This action has opened public’s eyes about the fragility of law and order. The second crack to be said was shown when religious leaders made a class action calling for the government to explain “at least 18 lies”.
The lies called to be explained were on poverty statistics, food security and energy, access to basic needs, the fight against terrorism, human rights protection, education budget, adequate settlement for Lapindo mudflow victims, case handling on Newmont, which was accused of dumping untreated mine waste in to the sea, and Freeport’s unfulfilled contract renegotiation promised in 2006, religious freedom and national unity, freedom of the press, protection of migrant workers, government transparency, the fight against corruption, the handling of polices’ dubious “piggy bank” accounts, clean politics, handling of the judiciary mafia case and the sovereignty of the Republic of Indonesia in relation to the arrest of three officers of the Maritime Affairs and Fisheries Ministry in Malaysia.
The third crack emerged just a few days ago when a man called Eli Cohen wrote an open letter revealing an arranged game between Indonesia and Malaysia while playing for the AFF Cup final. The source of accusation is still not valid enough but it has already built social unrest since it deals with football, a game consists of ample amount of fanatics.
To wrap things up, I would say the cracks should be taken care of as a factor to comprise the future policy in order to strengthen government and people relation. Furthermore, the policy makers should have enough credibility to diminish all of the mistakes that have been done before. With credibility, any political and economic turbulence could be easily tackled with the given policy instruments.

Monday, January 24, 2011

Pendidikan dan Impian Kebangsaan

Pada tahun 1865, Klan Satsuma, klan no dua terbesar di Jepang melepas belasan anak muda potensial menuju inggris. Merunut dari sejarah Klan Satsuma, tindakan visioner ini tentu menjadi sebuah hal yang tidak terlalu mengagetkan. Disaat Jepang masih sangat tertutup, Klan Satsuma telah melakukan revolusi pendidikan yang cukup signifikan yang telah menghasilkan generasi emas di Jepang pada saat itu. Pendidikan mereka adalah pendidikan holistik yang meliputi seni berperang hingga seni merangkai kata. Revolusi itu bahkan mencapai klimaksnya ketika commodore Perry memaksa Jepang untuk membuka dirinya untuk dunia. Menyadari ketertinggalan yang begitu jauh, Klan Satsuma kemudian mengambil langkah jitu dengan mengrimkan kader-kader terbaiknya menuju pusat pendidikan terbaik pada saat itu, Inggris.
Ditengah kecamuk perang saudara, 18 Samurai dari klan Satsuma berangkat demi sebuah misi yang diamanahkan kepada mereka, menuju Jepang yang lebih baik. Kurang lebih enam puluh enam hari mereka berlayar hingga akhirnya sampai Ke Inggris. Meskipun berasal dari negara yang tertinggal, tetapi kemampuan mereka menyerap ilmu mengundang decak kagum para pengajar di Inggris. Mereka merupakan pemuda dengan segudang talenta yang terus menerus berkarya dan berjuang demi misi mereka. Nagasawa, yang termuda diantara mereka bahkan berujar “Kini perang akan dimenangi oleh pedang ilmu dan kebijaksanaan”. Sebuah ucapan yang membangkitkan semangat rekan-rekannya untuk terus mengejar misi mereka.
Sekembalinya mereka ke Jepang, Restorasi meiji telah mengambil tempatnya, ruang untuk mereka berkreasi pun telah disiapkan. Para alumni Inggris tersebut, bersama dengan rekan-rekan mereka dari klan lain yang juga juga dikirim ke eropa, kemudian menjadi pembaharu dan menjadi mesin Kemajuan Jepang di Era Meiji. Era meiji memang pada akhirnya menemui ajalnya pada tahun 1912, tetapi rezim ini telah meninggalkan beberapa hal yang cukup signifikan bagi pengembangan dan kemajuan Jepang di era-era selanjutnya.

Rekan sekalian, hikmah dari cerita ini sejatinya cukup jelas. Gerbong bernama perubahan hanya dapat diisi oleh tindakan-tindakan yang visioner. Jika Jepang dapat berubah secara signifikan hanya dengan belasan pemuda, tentu kita dapat melakukan hal yang lebih besar untuk negeri kita dengan puluhan ribu mahasiswa Indonesia yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Di jepang, kita memiliki kurang lebih 1700 mahasiswa Indonesia. Sebuah potensi yang luar biasa jika dimanfaatkan dan dikoordinasikan. Apalagi Duta besar kita yang baru dari jauh hari telah berikrar untuk menambah jumlah mahasiswa Indonesia untuk belajar di Jepang.

Mari kita Bersama Bekerja untuk Berkarya!

Thursday, January 13, 2011

Free trade and Price Controls in Islamic perspective

I have my utmost believe that Islam gives me the answer of all my problems, but I would not expect to find the answer of my research questions in Qur'an or Hadith

I was very surprised when I found this fact

Free Trade & Price Controls

In Islam, the basic principle with regard to trade is that the market should be left free to respond to the forces of supply and demand and natural competition. This means that price controls, tariffs, and any other barriers should be removed so that trade can be free and fair. In the exchange of commodities in Mecca during the time of the Prophet Muhammed (pbuh), prices fluctuated according to market conditions. If price controls compel people to sell their goods at a price that is not acceptable to them or denies them the reasonable profit permitted by Allah, it is haraam (not permitted). Thus, when prices became high in the Prophet Muhammad’s (pbuh) time and people asked him to fix prices for them, he replied:

“Allah is the One Who fixes prices, Who withholds, Who gives lavishly, and Who provides, and I hope that when I meet Him none of you will have a claim against me for any injustice with regard to blood or property.” (Reported by Ahmad, Abu Daoud, al-Tirmidhi, Ibn Majah, al-Dari and Abu Y'ala.)

This saying implies that unnecessary interference in the freedom of individuals is injustice and that one should meet Allah free of blame for such action. However, there is an important exception to the general policy of support of free trade. If any artificial forces, such as hoarding and the manipulation of prices by certain merchants interfere in the operation of the free market, then public interest takes precedence over the freedom of individuals. In such circumstances, price controls do become permissible in order to meet the needs of the society and to protect it from exploitation and injustice. The aforementioned saying of the prophet Muhammad does not imply that price control is prohibited regardless of the circumstances, even if it removes harm and prevents obvious injustice.

source: http://www.islamic-relief.org.uk/

Subhanallah, MashaAllah. Interim presentation, here I come

Bukan Sekedar Sepakbola

Tak dapat dipungkiri lagi, Piala AFF 2010 begitu menyihir pala penggila sepak bola di Indonesia. Sihirnya begitu terasa hingga sejenak bisa menghilangkan penat dari pelbagai permasalahan yang sedang hinggap dan membebani pundak. Piala AFF mungkin hanya kejuaraan setingkat ASEAN, tetapi ini bukan sekedar piala, ini adalah sepak bola.

Sepakbola dan Ekonomi
Kesuksesan Timnas memang membawa euforia tersendiri bagi para penggila sepak bola, secara ekonomi hasil positif yang diperoleh Timnas akan berujung pada menggeliatnya perekonomian. Hal ini dipicu oleh meningkatnya produktifitas pekerja yang berangkat dari terpenuhinya utilitas intangible mereka yaitu kebahagiaan seperti yang diungkap oleh Spector (1997) dan Warr (1999). Meskipun pada kenyataanya Euforia yang berlebihan juga dapat berbalik menjadi disforia (gelisah dan sedih) dikala tidak siap menerima kenyataan (Syam, 2010). Ketidakstabilan performa politik di Indonesia pada gilirannya menjadikan kesuksesan Timnas sebagai penentu dominan moral dan perilaku masyarakat dalam menggenjot roda perekonomian selama perhelatan Piala AFF kali ini. Dari sisi laju peredaran uang, pertandingan sepak bola juga membawa dampak ekonomi yang tidak sedikit. Jika kita hitung perputaran uang dari ticket masuk saja, diperoleh keuntungan yang luar biasa besar. Belum lagi Pendapatan yang di raih PT. KAI untuk perjalanan suporter dari luar Jakarta yang jumlahnya belasan ribuan orang, ditambah lagi penghasilan dari transaksi merchandise atau atribut yang beromzet ratusan juta dalam satu harinya. Sepak bola bukan hanya sebuah gerakan ekonomi tetapi lebih dari itu, sepakbola sudah menjadi bagian dari ekonomi.

Sepakbola dan Politik
Sepakbola adalah sebuah permainan, tetapi di dalamnya politik sayang untuk ditinggalkan. Tengok saja betapa seorang Jenderal Franco yang “menghabisi” perjuangan Barcelona sebagai simbol rakyat catalonia dan meng-anak emaskan real Madrid sebagai simbol pemerintahan yang berkuasa. Perjuangan epic timnas Italia dalam merebut Piala dunia pada tahun 1934 juga tidak lepas dari pengaruh dari campur tangan politik Mussolini yang mengancam menghukum mati pemainnya jika gagal merebut piala dunia kala itu. Sepak bola dalam kaca mata politisi merupakan sebuah komoditas yang dapat melanggengkan kekuasaan, produk yang meningkatkan citra. Berbeda dengan variabel ekonomi, variabel politik disini berperan sebagai variabel bebas dan terikat sekaligus. Artinya, politik dapat mempengaruhi sepakbola begitu juga sebaliknya sepakbola dapat mempengaruhi politik.
Berbekal karakteristik yang demikian, maka politik dalam sepakbola akan selamanya tidak bebas nilai, penuh dengan keculasan, azas aji mumpung dan dipenuhi aksi selebritas para politisi. Ada saatnya memang dominasi politik menguntungkan sebuah tim sepakbola akan tetapi dalam jangka panjang hubungan ini tidak akan berlangsung lama. Tidak ada yang salah dalam sistem retorika ber politik kita akan tetapi sejatinya akan lebih arif jika olahraga milik semua umat dimurnikan dari kepentingan politik dan golongan. Sehingga kata kuncinya adalah sekularisasi Sepakbola dengan politik. Dengan demikian kita dapat menghadirkan sebuah konsep murni berpolitik dalam sepak bola yaitu nasionalisme permainan. Disini kita dapat melihat betapa para pemain bola telah mengajarkan kita sebuah prinsip nasionalisme sesungguhnya. Lihat saja semangat seorang Christian Gonzalez yang “hanya” pemain naturalisasi, setiap mencetak gol,reaksi pertama yang ia lakukan adalah berlari ke arah tribun pendukung Indonesia dan mencium lambang Garuda di dadanya. Tidak ada politik aliran dalam lapangan karena mereka berbaur dalam satu skuad yang terlatih untuk sama-sama memenangkan pertandingan. Di sana tidak ada perbedaan suku, agama, latar belakang sosial. Bagi mereka, kaos berlambang garuda adalah penyatu untuk satu kebanggaan sebagai Indonesia.

Sepakbola adalah Harapan
Gocekan Firman Utina, terobosan seorang Oktovianus Maniani, kesungguhan Mohammad Nasuha, kelihaian Irfan Bachdim tidak hanya penting bagi permainan Timnas melainkan juga membawa misi dan harapan dari seluruh Rakyat Indonesia. Kegemilangan Timnas memang membawa pengaruh luar biasa bagi rakyat, berdiaspora menembus pelbagai elemen kebangsaan. Antiklimaks perjuangan Timnas dalam perjuangannya meraih piala AFF tampaknya belum mampu menyurutkan euforia masyarakat. Alfred riedl pernah mengungkapkan rasa takjubnya terhadap antusiasme supporter Indonesia. "Saya sangat takjub dengan suporter. Dukungan begitu besar datang dari para suporter Indonesia kepada Timnas. Mereka selalu datang ke hotel tempat kami menginap dan mereka juga datang saat kami berada di bandara menuju Malaysia. Saat ini pun, walau kami kalah, mereka tetap datang mendukung kami. Sangat luar biasa," ujarnya dalam sebuah kesempatan. Rakyat sudah terlanjur cinta dengan Timnas, kekalahan melawan Malaysia di leg terakhir fina piala AFF bahkan banyak dinilai sebagai kekalahan yang terhormat. Hal ini tentunya menyiratkan harapan, sebuah harapan untuk kebanggaan akan keberhasilan. Perjalanan kita masih panjang Bung! Segera benahi PSSI, tunaikanlah amanat kongres untuk mereformasi PSSI. Sungguh publik masih sangat haus akan prestasi. Hingga kapan dahaga ini dapat terobati? Hanya waktu yang dapat memberi bukti. Piala Dunia, mungkin bukan lagi mimpi!

Thursday, July 22, 2010

Memfungsikan Demokrasi

Sudah lebih dari satu dekade lamanya Indonesia menikmati demokrasi sebagai buah dari reformasi di tahun 1998. Lantas, apa yang sudah kita dapat? Publik melihat demokrasi telah mengenyahkan Sri Mulyani, demokrasi pula yang telah melahirkan dana aspirasi. Patutkah kita meninjau kembali sistem pemerintahan kita? Atau mungkin, kita harus lebih mengenal dan memfungsikan demokrasi sebelum menjatuhkan vonis yang terlalu dini. Demokratisasi merupakan formula yang tepat dan legitimatif bagi kemerdekaan Tetapi jika tidak berhati-hati, demokrasi hanya akan berujung pada hegemoni dan dominasi. Demokrasi dan Kemakmuran. Dalam studi yang penulis lakukan di awal tahun 2010, ditemukan bahwa demokrasi di Indonesia justru menghambat laju distribusi pendapatan masayarakat atau dengan kata lain, telah tercipta sebuah kesenjangan besar dalam masyarakat karena demokrasi. Pola ini terjadi karena demokrasi di Indonesia telah mengkreasikan sebuah budaya korupsi. Menjamurnya korupsi tentu tidak lepas dari sistem pemilihan umum yang terdesentralisasi ke setiap pelosok daerah. Akibatnya, setiap aktor yang terlibat dalam sistem seperti ini “dipaksa” untuk meng”entertaint” para stakeholders nya. Tentu saja setiap pemenang pemilu model demikian akan terlibat koalisi kepentingan yang sarat akan muatan korupsi dan nepotisme. Dampak negatif demokrasi terhadap kemakmuran juga dipaparkan oleh Dimitraki (2010) di Yunani. Sebuah hal yang sangat mengejutkan karena Yunani bisa dikatakan sebagai negara penemu Demokrasi. “kita mengalami terlalu banyak pemilihan umum” ujarnya dalam suatu kesempatan. Temuan ini, ternyata sejalan dengan pemikiran Boediono, dimana dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar FE UGM Boediono mengatakan, bahwa rezim demokrasi di negara dengan penghasilan per kapita 1.500 dollar AS (dihitung berdasarkan purchasing power parity/PPP dollar tahun 2001) mempunyai harapan hidup hanya delapan tahun. Situasi yang agak riskan mengingat pendapatan perkapita Indonesia baru mencapai kisaran US$ 2000 di akhir tahun 2009. Korelasi antara demokrasi dan kemakmuran juga mendapat perhatian Ari Perdana (2009) dimana ia menuturkan bahwa tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana membuat demokrasi dan peningkatan kemakmuran dapat dijadikan tujuan yang paralel tanpa harus mengorbankan salah satu diantaranya. Mendefinisikan Demokrasi. Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat). Demokrasi, mengikuti Schumpeter, dapat digambarkan sebagai “pengaturan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik dimana masing-masing individu terkait dengan kekuasaan dan menentukannya melalui kompetisi dengan pemberian suaranya . Dari sini kemudian Apter dengan mengutip Birnbaun menentukan kuat lemahnya negara dalam hubungan dengan civil society. Tetapi, lemah atau kuat, demokratis ataupun otoriter, sistem politik berperan sangat penting dalam mengamati bagaimana ditentukannya hukum dan ketertiban untuk secara efektif mengendalikan aktivitas politik. Kebutuhan memperjuangkan demokrasi, membuat penikmatnya memperjuangkan dekolonisasi bersamaan dengan evolusi dari kekuatan-kekuatan demokratis, terutama dengan menafsirkan kembali nasionalisme kearah pemahaman akan “bangsa baru”. Pada proses ini, maka demokrasi ditetapkan dan diarahkan sebagai instrumen atau alat dari sebuah “bangsa yang sedang menjadi”. Pada satu sisi, paduan pasar dan demokrasi (a double market: politik dan ekonomi) merupakan pengganti gerakan penyeimbang yang diberikan oleh bantuan-bantuan dari luar, meskipun ini sebenarnya adalah juga proses imperialisme gaya baru, hegemonis dan menggantikan kontrol politik dengan kontrol ekonomi atau kontrol pasar. Dan sebagai hasilnya, kepercayaan dan keyakinan terhadap kekuatan konstitusi berkurang dan semakin dipercaya pendekatan resiprokal atau proses mutual dari atas kebawah dan bawah keatas. Negara diharapkan mengontrol pertumbuhan dan konsekuensinya. Ada semacam asumsi yang berkembang dalam framework developmentalis, yakni cepat atau lambat proses replikasi akan terjadi terutama pada nilai-nilai sosial dan budaya utama serta kelembagaannya sebagaimana yang dialami oleh negara industrial. Hal ini terutama karena bertumpu pada prinsip pertumbuhan ekonomi yang akan menghasilkan diferensiasi kerja, melahirkan kelas menengah, borjuis dan kemudian berkembang ke demokrasi yang mengatasi primordialisme dan tradisionalisme. Sementara itu, Pareto membedakan, elit dan non elit, serta membagi elit menjadi elit yang memerintah dan elit yang tidak memerintah. Sangat mungkin terjadi pergantian elit, apabila elit berkuasa mengalami pembusukan. Sementara bagi Mosca, pemerintah adalah sekelompok atau sejumlah kecil elit yang memonopoli kekuasaan. Mosca mengakui dan mengintrodusir kemungkinan adanya sirkulasi elit, dalam mana elit tidak selamanya berdasarkan kualitas moral individu. Mosca memang bertentangan dengan Marx, tetapi juga bertentangan dengan teori demokrasi yang menyebutkan “pemerintahan mayoritas”, dan lebih setuju dengan pemisahan kekuasaan ala Montesquieu. Demokrasi kemudian membawa dan melahirkan kontradiksi dan konflik dalam masyarakat kapitalis dan menjadi terbuka, sehingga kelas kapitalis tidak lagi mungkin menggunakan state untuk kepentingannya sendiri. Demokrasi dalam Realita. Mayoritas anggota DPR nampaknya mengkapitalisasi celah demokrasi dimana hal ini juga berarti bahwa rakyat mempertaruhkan nasib politiknya pada legislator yang hampa politik etis. Demokrasi menjadi sebuah transaksi yang harus dituntaskan. Pada kebijakan publik, prasyarat keterbukaan merupakan elemen yang penting. Jika prasyarat itu tidak ada, maka transaksi tersebut pasti merugikan publik. Karena itu, syarat adanya transaksi pada domain publik adalah transparansi, akuntabilitas. Dengan tingginya tingkat transparansi, maka gejolak yang terjadi akan dengan mudah ditanggulangi. Tanpa adanya transparansi, target kebijakan menjadi tidak berguna, karena publik tidak dapat membandingkan antara target dengan realisasi, sehingga dapat memicu terjadinya ketidak seimbangan. Pada prakteknya, transparansi ini diwujudkan oleh pembuat kebijakan dengan mempublikasikan analisa mengenai prospek masa depan dan juga analisa kebijakan yang telah dibuat pada periode sebelumnya.Lebih lanjut, dengan adanya akuntabilitas kebijakan, maka dengan sendirinya akan muncul legitimasi politik yang kuat. Legitimasi politik menjadi penting karena kebijakan-kebijakan yang dibuat harus merefleksikan sebuah konsensus nasional. Kondisi balance of power dan juga tanggung jawab yang ada, pada akhirnya dapat mengurangi dampak buruk dari kurang berfungsinya demokrasi. Fithra Faisal Hastiadi (Direktur Riset Fokus Parlemen (http://fokusparlemen.or.id/); Direktur Eksekutif Indonesian Progressive Institute; Staf Pengajar FEUI)

Wednesday, May 12, 2010

Achieving sustainable economic growth

Jakarta Post

Sri Mulyani Indrawati has resigned from the hot seat, a shocking fact amid the positive trend of Indonesian economy.

The challenging task is waiting for the successor that is to maintain the remarkable achievement of Mulyani.

Under Mulyani, the Indonesian economy has been transformed into a hot commodity that creates a growing jealousy from neighboring countries. Whether the new minister is capable has become a major issue here.

A good figure, whoever they are, will not be able to solve the issue of sustainability without a proper identification. But it is never meant to be a one man or woman show. A deep and concise coordination is needed across the ministry. A hard task indeed but it is doable. This article proposes some factors that need to be addressed in reaching the quest for sustainable growth.

Adopted from Khoirrunurofik’s work in 2002, the author made some econometric simulation to determine the factors that have significantly contributed to economic growth. The first pairing variables are control of corruption and government effectiveness.

It is agreeable that corruption will go against all norms, as it will impede development by the dysfunction of a political system or institution in which government officials, political officials or employees seek illegitimate personal gain through actions such as bribery, extortion, cronyism, nepotism, patronage, graft and embezzlement.

Alas, the control of corruption indicators for Indonesia in Asia Pacific has been lying at the ground level since 1998. The government effectiveness index rings the same bell. The government is still not able to solve the latent problem of coordination. This condition leads to a policy failure across sectors.

Another factor that also matters is democracy. The finding tells us about the negative impact of democracy for the economic growth in Indonesia.

This fact is not very surprising since democracy is still finding its form in Indonesia. We have to define what democracy means in order to make it work.

Recent progress shows that democracy creates negative externalities in the form of corruption and budget ineffectiveness. This is happening because the trend toward fiscal decentralization has dismantled the central government scope of control.

The shallow control has undoubtedly been capitalized by some officials to find their way in enhancing personal welfare. The incentives to cheat are being capitalized even more given the new scheme of
the local election that incorporates a lot of money to entertain the stakeholders.

In terms of the budgeting process, the local governments still have a hard time allocating funds efficiently or even worse, they cannot find the way to channel it. As a result, idle funds are being kept in local banks which is resulting to a persistent pressure to the monetary authority since these banks invest the funds in the form of a central bank’s note.

The next factor is physical infrastructure such as roads, bridges and electricity that can provide steadiness and assuredness in attracting foreign direct investment.

In other words, good infrastructure will only lead to sustainable inter trade and investment. Should Indonesia seek to achieve sustainable growth, she should at least solve the latent problems of unprepared infrastructure especially on the electricity sector. The idea is how to increase the capital spending in the national budget (APBN), which is subject to a gradual cut in routine spending.

Another factor that supports the growth sustainability is the exchange rate. One should know that volatile exchange rates will hamper the initial macroeconomic condition. Take a look at the rupiah’s value, amid the positive campaign from Bank Indonesia, it still looks very sluggish to adjust from its initial level.

An anomaly since the spread of the interest rate between the BI rate and Fed rate has broadened in a way that it could act as an incentive to the fund owners to flood the Indonesian market with massive capital inflow, which in turn leverages the rupiah.

So, what is the problem? The keyword is expectation, in which the market still has negative expectations of the rupiah. An old story is retold, a story about the decoupling effect which happens between the real economic sector and the financial sector, a story that still has not found the end.
This fact contributes to the fragility of the Indonesian economic base that leads to market distrust. One thing that should be noted is that the reason to invest in Indonesia, aside from the strong economic base, is because of the expectation from the investors there will be future economic gain.

Efforts to bring the Indonesian economy onto its path is not like it has never been done before but it has not effectively been done. The principles of a good macroeconomic framework are credibility, flexibility and political legitimation. The rule of law could create credibility if the rule is widely known and well understood by the public. With credibility, it is easier to handle economic turbulence with the policy instrument that is controlled by the economic authority.

Credibility can function more when there is a transparent and accountable framework that strengthens political legitimacy. Effective policy would merge if the policy makers have the ability to react promptly every time in encounters an unprecedented shock. Credible policy makers are those who make the policy with respect for transparency. With a high level of transparency, any economic shock can be easily diminished.

Without transparency, every policy with regards to economic target and fiscal rule will become obsolete since the public cannot compare between the target and realization. Moreover, the political legitimacy becomes very important since the policies being made should reflect the national consensus. This in turn creates balance of power and also general responsibilities, which could reduce the negative effect from the uncoordinated policy.

Under Mulyani, the Indonesian economy has been transformed into a hot commodity.

The writer, teaching staff at the Faculty of Economics, the University of Indonesia, is a PhD student at the Graduate School of Asia Pacific Studies, Waseda University, Japan.

Sunday, May 9, 2010

Catatan Kehidupan

Di Hamparan Nepheli ku jejaki bukit Thesaloni. Menjejak diiringi lebah yang tengah berasyik masyuk memadu untuk sang ratu. Wangi Eucalyptus mewarnai panorama Olimpus yang tengah berselimut Cumulonimbus. Dewi menari membuat silau hati yang terisi, berpaling jauh di ujung ufuk. Dewi menari tapi bukan bidadari, meniti kahyangan sembari sesekali mengintip kehidupan. Ku seruput Kopi dihamparan savanna yang tengah bersemi.
Bermuhibah dengan waktu yang selalu diam ketika ditanggap. Pernah sekali ku ajak bicara sang waktu hanya terkekeh dan meninggalkan ku dalam keadaan bertanya-tanya, apakah semua harus berada dalam equilibria? Sejenak kulafalkan Dubito ergo cogito ergo sum tetapi kemudian Descartes datang membenarkan, hilangkan Dubito ergo pakailah ungkapan cogito ergo sum. Ah, Descartes kau memang benar, memang sebaiknya ku tak pernah ragu.
Jangan kau sesali Kematian Socrates karena menjejali elenchus. Pandangi peninggalan etisnya yang terus melegenda. Apakah salah meyakini paradoks Socrates tatkala dia mengutuk kejahatan dan mengajak untuk menghargai kehidupan? Boleh lah ia berbeda dari Plato tapi jangan kau kutuk ia dalam kehinaan.
Termenung di Thessaloni teringat lambaian hidup. Kehidupan bukan logika formal Reductio ad absurdum. Meski logika terkadang terlalu penting untuk dienyahkan.
Di tengah Pareto Optimum kehidupan dilafalkan. Tapi ingat ia tidak selalu seperti yang diungkap. Mendaki terkadang meniti, di kala meniti perlu kecermatan. Tapi, tentu cermat terkadang mewah ditengah galau. Yah, hidup bukan seminaria yang bisa diperdebatkan. Terkadang perlu untuk berselancar dengan derasnya ombak tetapi ingat bahwaa itu hanya lah soal waktu. Kompromi terkadang diperlukan untuk mencapai the lowest common denominator seperti sering disebut oleh mendiang Cak Nur.
Terkadang kucoba memplot nya dalam cartesius tetapi ternyata mustahil untuk dilakukan karena terlalu banyak dimensi yang harus disertakan. Kuingat kembali raut waktu ketika ia terkekeh, ternyata ia tidak benar-benar meninggalkan, kuingat lamat-lamat di kejauhan ia berbisik: Raihlah kehidupan hari ini. Carpe Diem