Tuesday, March 25, 2008

Menuju Krisis Ekonomi Jilid II

Apakah benar Indonesia sudah sedemikian terpuruknya sehingga pada akhirnya judul yang terkesan hiperbolik ini dimunculkan. Apakah benar para menteri yang pintar-pintar itu (menurut M. Sadli, Sri Mulyani adalah yang paling pintar diantara tim ekonomi pemerintah) sudah tidak mempunyai taji lagi untuk mengeluarkan jurus-jurus andalannya? Yang jelas tanda-tanda keterpurukan (leading indicator) perekonomian sudah jelas terpampang.

Beberapa Indikator

Indikator pertama adalah gelombang redemption reksadana yang terjadi belum lama ini. Sama halnya dengan rush perbankan pada tahun 1998, gelombang redemption reksadana ini terjadi karena kurangnya edukasi. Kenaikan tingkat sukubunga sebenarnya tidak serta merta menurunkan rate of return dari para investor reksadana jikalau mereka diberi pengetahuan yang cukup mengenai karakteristik investasi pada reksadana. Kenaikan tingkat suku bunga yang diikuti oleh capital loss hanya akan terjadi jika para investor ini menarik investasinya sebelum jatuh tempo. Sangat disayangkan para Manajer Investasi tidak cukup mengedukasi para investor reksadana ini. Alih-alih memberitahu resiko investasi reksadana, Manajer Investasi lebih cenderung untuk menutup-nutupi resiko ini.

Indikator yang kedua adalah meningkatnya jumlah penduduk miskin. Naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) rata-rata sebesar 126% akan meningkatkan garis kemiskinan dari penghasilan Rp 150.000 perorang perbulan menjadi Rp 180.000 perbulan. Pada akhirnya jumlah penduduk miskin akan meningkat dari 62 juta orang ( 40 juta orang miskin dan 22 juta orang hampir miskin) akan meningkat menjadi 80-100 juta orang. Potensi kerusuhan yang berdimensi sosial kemasyarakatan bukan tidak mungkin akan terjadi lagi. Orang miskin berarti jarang makan, orang yang jarang makan biasanya cenderung emosional.Terlebih dengan kebijakan cash transfer yang tidak jelas “juntrungan”nya. Well, kedepan kita mungkin bisa menyaksikan kantor Pos atau BRI yang dibakar massa yang kelaparan sebagai akibat tidak meratanya pembagian “jatah” kompensasi BBM.

Indikator yang ketiga adalah semakin tingginya tingkat suku bunga SBI. Semakin tingginya proyeksi suku bunga SBI didorong oleh semakin tingginya proyeksi kenaikan inflasi sebagai akibat oleh kenaikan harga BBM. Dengan kata lain, tingginya proyeksi tingkat suku bunga SBI merupakan cerita yang tidak terpisahkan dalam episode kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM ini akan memicu inflasi yang didorong oleh struktur biaya perusahaan yang meningkat (cost push inflation). Inflasi yang timbul dari struktur biaya perusahaan yang meningkat ini akan lebih menyakitkan efeknya daripada inflasi yang timbul dari tarikan permintaan agregat (demand pull inflation). Inflasi yang terjadi karena tarikan permintaan agregat akan mendorong terjadinya ekspansi output yang pada akhirnya akan mengurangi angka pengangguran, sementara inflasi yang timbul sebagai akibat dari naiknya struktur biaya perusahaan boleh jadi akan mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran. Hal ini pada akhirnya akan menambah angka pengangguran di Indonesia. Terapi BI selaku otoritas moneter adalah sama untuk kedua jenis inflasi ini yaitu menaikkan suku bunga. Suku bunga yang tinggi akan semakin mencederai kesinambungan investasi. Investasi yang terpuruk lantas akan menurunkan tingkat output. Tingkat output yang rendah pada gilirannya akan semakin memperpanjang antrean pencari kerja.

Pintar atau Bodoh

Menko Perekonomian belum lama ini berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi. Dengan lantang dia berkata ” Target pertumbuhan ekonomi tidak akan kita revisi, kenaikan harga BBM adalah sangat kecil pengaruhnya terhadap kontraksi ekonomi.” Kerutan di dahi saya pun bertambah banyak ketika mendengar pernyataan Menko Perekonomian yang konyol itu. Dia ini keterlaluan pintarnya atau keterlaluan bodohnya sehingga bisa mengluarkan pernyataan seperti itu, pikir saya. Melemahnya pasar saham sebagai akibat penurunan daya beli investor sebenarnya sudah menegasikan pernyataan tim ekonomi sebelumnya perihal optimisme kenaikan IHSG pasca kenaikan harga BBM. Rakyat memang sudah bisa menerima keputusan untuk menaikkan harga BBM, akan tetapi kenaikan harga BBM sebesar rata-rata 126% sudah berada di luar batas kewajaran. Alasan bahwa kenaikan harga secara drastis akan jauh lebih efektif dibandingkan kenaikan secara bertahap dapat diterima seandainya saja perekonomian kita sedang tidak berada dalam tekanan. Karena pada kenyataannya perekonomian Indonesia belum sepenuhnya keluar dari krisis.

Sebagai penutup saya akan memberi sedikit saran untuk bapak Presiden, begini kira-kira saran saya: ” If I were you Mr. President, I will kick Aburizal Bakrie’s.......(sensored) out of the Cabinet”.

No comments: