Tuesday, March 25, 2008

SBY, Presiden Republik Mimpi

Tepat satu hari menjelang peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang ke 61, SBY bertandang ke DPR guna membacakan nota keuangan untuk tahun anggaran 2007. Bak proklamator, SBY pun berpidato dengan gagahnya. Janji-janji diberikan, target-target dicanangkan angka dan data kemudian dipaparkan. Tapi sungguh tak dinyana, pidato kenegaraan tersebut membuat sebagian orang mengernyitkan dahi serta bertanya-tanya. Ada apa dengan SBY? Benarkah dia masih menjadi Presiden Republik ini atau jangan-jangan dia sudah menjadi Presiden dari Republik Mimpi? Yang jelas SBY tengah bermimpi.

Klaim Sepihak

Dalam pidatonya, SBY mengklaim telah mampu mengurangi tingkat kemiskinan dari 23,4% pada tahun 1999 menjadi 16% pada tahun 2005. akan tetapi patut dicatat bahwa dalam pernyataannya ini, SBY belum mengungkapkan data terbaru angka kemiskinan pasca kenaikan BBM sebesar 18,7% pada Juli 2005 dan 22% pada Maret 2006. Dengan demikian, merujuk fakta yang ada, SBY sesungguhnya gagal dalam menurunkan angka kemiskinan. Hal ini juga ditunjukkan oleh sebuah kenyataan yang ironis, dimana pada saat SBY mengklaim telah menurunkan angka kemiskinan, pada saat yang sama pemerintah meminta tambahan anggaran biaya untuk program Beras Miskin (raskin) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dengan alasan adanya penambahan jumlah orang miskin.

Demikian pula dengan upaya mengurangi pengangguran, yang diklaim SBY telah mulai menurun dari 11,2% pada bulan November 2005 menjadi 10,4% pada awal tahun 2006, juga belum layak untuk dijadikan indikator keberhasilan pemerintahan SBY. Sebab bulan Februari adalah musim panen raya sehingga penyerapan tenaga kerja di sektor informal tentunya menjadi bertambah. Faktor musiman ini terjadi tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Perbandingan yang seharusnya lebih tepat adalah antara angka pengangguran Februari 2005 dengan Februari 2006 yang menunjukkan fakta bahwa pengangguran tetap meningkat dari 10,2% menjadi 10,4%.

Klaim sepihak ini celakanya juga merambah ke sektor yang lain yaitu sektor pendidikan. SBY dalam pidatonya mengungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan anggaran pendidikan sebesar 18,5% dari Rp 43,3 triliun dalam APBN 2006 menjadi Rp 51,3 triliun dalam RAPBN 2007. Hal ini jelas sebuah perbandingan yang keliru dan cenderung mengaburkan fakta, karena sesungguhnya perbandingan yang lebih tepat adalah antara anggaran pendidikan dalam RAPBN 2007 dengan APBN-P 2006 dimana hanya terdapat kenaikan sebesar 9,4% yaitu dari 46,9 triliun menjadi 51,3 triliun.

Asumsi Makroekonomi Yang Tak Berdasar

Data sepanjang tahun 2004 hingga semester pertama tahun 2006 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung ditopang oleh sektor konsumsi ketimbang investasi. Sementara pertumbuhan sektor investasi mengalami trend penurunan yaitu 14,6% ditahun 2004, 2,9% ditahun 2005 dan -0,1% pada semester pertama tahun 2006, pertumbuhan sektor konsumsi justru mengalami peningkatan yaitu dari 9% ditahun 2004, 12,1% ditahun 2005 dan 25% pada tahun 2006. Jika kecenderungan ini terus berlanjut pada tahun 2007, maka target pertumbuhan ekonomi yang sebesar 6,3% akan sulit untuk dicapai. Dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan, melalui pertumbuhan ekonomi angka kemiskinan semestinya berangsur-angsur mengalami penurunan. Akan tetapi, fakta dilapangan menegasikan harapan yang ada. Hal ini terjadi karena minimnya kualitas pertumbuhan ekonomi yang tercipta. Pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh konsumsi tentunya merupakan rintangan untuk mengentaskan kemiskinan. Kebijakan ekonomi makro tentunya harus diarahkan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja yang lebih luas dan mengurangi jumlah penduduk miskin dengan mendorong pertumbuhan dan stabilitas ekonomi serta meningkatkan kualitas institusi

Dengan target pertumbuhan ekonomi yang sedemikian tinggi, rasanya sangat sulit untuk mencapai tingkat inflasi rendah pada kisaran 6,5% di tahun 2007. Dalam konteks ekonomi, tentu saja kedua hal tersebut merupakan hal yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain (trade off). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi biasanya diikuti dengan tingkat inflasi yang tinggi pula, atau dengan kata lain laju inflasi bergerak seiring dan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Sebab pada kenyataannya setiap usaha untuk menekan laju inflasi, akan mencederai proses pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Terkait dengan asumsi harga minyak dunia, asumsi yang sebesar $ 65 per barrel, jelas tidak sejalan dengan kondisi nyata dimana trend kenaikan harga minyak dunia terus berlanjut dan kini telah bertengger di atas $ 75 per barrel. Hal ini mengingat ketidakseimbangan supply-demand di pasar dunia, yang dipicu oleh konflik tak berkesudahan di timur tengah, masih akan berlanjut di tahun 2007 sehingga diperkirakan harga minyak akan sulit untuk turun secara signifikan.

Mimpi Yang Tak Berkesudahan

Impian dari SBY, celakanya tidak didukung oleh instrumen kebijakan fiskal yang tepat. Kebijakan fiskal yang terdiri dari penerimaan negara, alokasi belanja negara serta pembiayaan defisit anggaran masih juga belum menunjukkan tanda-tanda konsolidasi menuju tercapainya kesinambungan dan ketahanan fiskal sebagaimana yang dicita-citakan.

Target penerimaan pajak pada tahun 2007 diperkirakan akan sulit untuk direalisasikan mengingat adanya tax potential loss sebesar Rp 11,3 triliun atau 0,32% terhadap PDB jika RUU pajak diberlakukan. Meskipun RUU pajak yang baru akan dibahas kembali di DPR diharapkan akan memiliki dampak yang positif dalam jangka panjang terkait dengan potensi investasi yang diharapkan meningkat, akan tetapi dalam jangka pendek akan menurunkan potensi penerimaan pajak. Kecuali jika ada upaya yang sunguh sungguh dari pemerintah untuk meningkatkan jumlah basis pajak dan melakukan reformasi sistem perpajakan guna menekan kebocoran pajak yang masih terjadi.

Di sektor belanja negara, program pemerintah untuk menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan melalui strategi alokasi belanja negara masih belum tepat sasaran. Hal ini terlihat dari rencana anggaran belanja pemerintah pusat yang sebagian besar telah habis untuk membayar bunga utang dan belanja barang. Sementara porsi belanja modal, yang diharapkan akan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas, justru mengalami penurunan dari yang direncanakan sebesar Rp 67,04 triliun dalam APBN Perubahan 2006 menjadi Rp 66,06 triliun dalam RAPBN 2007.

Dalam hal pembiayaan defisit anggaran, pemerintahan SBY jelas belum bersungguh-sungguh untuk merubah sistem manajemen utang agar menjadi lebih sehat dan berkesinambungan. Dalam hal pembiayaan dalam negeri misalnya, pembiayaan melalui penerbitan obligasi negara baik secara domestik dalam bentuk surat utang negara (SUN) maupun secara internasional melalui obligasi global memiliki imbas negatif terhadap obligasi korporasi yang diterbitkan oleh pihak swasta. Betapa tidak, karena pemerintah dipaksa untuk secara langsung meminjam dari pasar kredit, maka jumlah uang yang tersedia untuk membiayai investasi swasta akan jauh lebih sedikit. Akibatnya obligasi koporasi, yang secara relatif lebih beresiko, menjadi sepi peminat. Sehingga pada akhirnya sektor riil tidak akan berjalan sebagaimana mestinya sebagai akibat dari kurangnya dana.

Jika pasar sudah jenuh, penerbitan SUN pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan tingkat suku bunga riil, yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan biaya untuk meminjam dan membiayai pengeluaran investasi jangka pendek. Karena suku bunga bertindak sebagai cost of fund, maka tingkat suku bunga yang tinggi akan berimplikasi pada semakin mahalnya biaya untuk melakukan ekspansi usaha (investasi) dan juga bertambahnya beban anggaran pemerintah di masa mendatang.

Angka berbicara, fakta pun telah jelas berkata, akan tetapi SBY tetap bergeming. Jelas SBY tidak bisa disalahkan karena sepertinya dia tengah terlelap dalam tidur panjangnya. SBY tengah terbuai dalam mimpi indahnya yaitu menjadi Presiden di Republik Mimpi. Pertanyaannya adalah, sampai kapan SBY terus bermimpi?

No comments: