Tuesday, March 25, 2008

SBYNOMICS

Belum lama ini Presiden RI Dr. Susilo Bambang Yudhoyono atau akrab disapa dengan SBY, meminta tim ekonomi baru Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) memprioritaskan dan memfokuskan kerjanya pada enam agenda ekonomi utama. Keenam agenda ekonomi itu adalah mempertahankan dan memperbaiki makroekonomi menuju kodisi yang sehat, mengendalikan inflasi, memperbaiki arus barang kebutuhan pokok, menciptakan lapangan kerja baru dengan merealisasikan pembangunan infrastuktur yang bersifat padat karya, menggenjot pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki neraca pembayaran dengan meningkatkan kontribusi investasi dan ekspor. Keenam agenda ekonomi ini sejatinya merupakan bentuk ketanggapan SBY dalam menghadapi pelbagai permasalahan ekonomi yang terjadi di Indonesia. Tetapi apakah benar demikian? Ataukah ini semata-mata adalah target politis belaka?

Target Ekonomi Atau Target Politik

Sepintas lalu, terutama bagi masyarakat awam, tidak ada masalah dengan target yang dikedepankan SBY itu, akan tetapi kalau saja kita lebih cermat dalam memperhatikan target-target tersebut, ternyata ada beberapa poin yang perlu kita kritisi. Coba tengok saja poin kedua dan poin kelima. Presiden menyeru para menterinya untuk bisa mengendalikan laju inflasi dalam tingkat yang rendah sembari mengharapkan para menterinya tersebut mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam konteks ekonomi, tentu saja kedua hal tersebut merupakan hal yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain (trade off). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi biasanya diikuti dengan tingkat inflasi yang tinggi pula, atau dengan kata lain laju inflasi bergerak seiring dan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Jadi, rasanya sulit untuk menerima sebuah gagasan mempertahankan level inflasi yang rendah di satu sisi, sementara disisi yang lain menginginkan sebuah pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sebab pada kenyataannya setiap usaha untuk menekan laju inflasi, seperti menaikkan tingkat suku bunga dan menaikkan GWM misalnya, akan mencederai proses pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Hal ini sebenarnya juga diamini oleh Ibu Sri Mulyani, yang belum lama ini dilantik sebagai Menteri Keuangan di KIB untuk menggantikan posisi Jusuf Anwar. Mengenai laju inflasi, Ibu Sri Mulyani menegaskan pemerintah tidak akan menurunkannya secara instan. Karena cara itu akan mengorbankan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan tenaga kerja. Meskipun tidak mengkritik secara langsung mengenai target yang diberikan Presiden kepadanya, pernyataan ini sebenarnya merupakan sebuah bentuk eufimisme penolakan Ibu Menteri terhadap target Presiden yang tidak berdasar itu.

Memang langkah-langkah Presiden SBY semakin lebih bernuansa politis akhir-akhir ini. Lebih-lebih tatkala beliau menegaskan rencanya menaikkan gaji PNS di tahun 2006. Hal ini tentunya tidak menjadi masalah jika tahun 2006 mendatang Presiden tidak memfokuskan pada upaya memerangi inflasi. Sebagaimana kita fahami, rencana kenaikan gaji PNS ini sudah barang tentu akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari meningkatnya daya beli masyarakat.

Akan tetapi, hal ini tentunya jadi terasa janggal ketika Presiden menyeru para menterinya untuk juga mempertahankan laju inflasi pada level yang rendah. Tindakan presiden untuk menaikkan upah PNS tentunya merupakan bentuk usaha yang kontra produktif ditengah perjuangan untuk memerangi inflasi, sebab permintaan masyarakat yang meningkat itu boleh jadi akan diikuti oleh kenaikan harga yang tentunya berujung pada inflasi. Jadi jelaslah sudah, melalui premis-premis yang telah diutarakan diatas, target Presiden ini lebih merupakan target politik ketimbang ekonomi.

Menggugat Arti Pertumbuhan Ekonomi

Upaya untuk mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan melalui skema pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebenarnya juga merupakan sesuatu hal yang patut kita cermati. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara teori memang akan menciptakan sebuah skema pengurangan angka pengagguran. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan akan menciptakan pertumbuhan output, sehingga dibutuhkan banyak tenaga kerja dalam rangka mengejar kapasitas output yang meningkat itu. Selanjutnya permintaan terhadap tenaga kerja yang meningkat tersebut kemudian akan mengakibatkan ketatnya kondisi pasar tenaga kerja, sehingga upah diprediksikan akan meningkat. Peningkatan upah dan turunnya angka pengangguran kemudian akan mengurangi presentase jumlah penduduk miskin di negara yang bersangkutan.

Akan tetapi Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti telah dijelaskan diatas, mengakibatkan peningkatan upah yang pada akhirnya merubah keseimbangan di pasar barang. Harga-harga pun cenderung akan meningkat, belum lagi dengan kondisi harga BBM yang meningkat. Kondisi ini (inflasi) menyebabkan daya beli masyarakat akan menurun, sehingga paradigma penghapusan kemiskinan melalui sebuah skema pertumbuhan ekonomi menjadi sesuatu yang dipertanyakan.

Data sepanjang tahun 2002 hingga 2003 menunjukkan bahwa walaupun terjadi pertumbuhan ekonomi, angka pengangguran juga meningkat dimana kondisi menganggur artinya tidak berpendapatan, dan tidak berpendapatan sama artinya dengan miskin. Jadi apakah pertumbuhan ekonomi akan mengurangi angka kemiskinan?

Koordinasi Kebijakan Yang Tak Kunjung Tercapai

Bisa jadi, target Presiden yang tidak sinkron antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan inflasi yang rendah seakan ingin berbicara bahwa pemerintah ingin mencapai target yang tinggi dalam pertumbuhan ekonomi sementara permasalahan inflasi menjadi tanggung jawab Bank Indonesia. Hal ini bisa saja kita terima, melihat fungsi Bank Indonesia selaku otoritas moneter, pasca diberikannya independensi, adalah fokus kepada inflasi. Tetapi ini merupakan bukti ketidaksinkronan antara pemerintah selaku otoritas fiskal dengan bank indonesia selaku otoritas moneter karena permasalahan koordinasi sesungguhnya juga menyangkut komitmen pemerintah terhadap target inflasi.

Memang Bank Sentral telah independen, tetapi jika itu tidak diikuti dengan kuatnya komitmen pemerintah untuk juga turut mempertimbangkan faktor inflasi dalam setiap kebijakan yang dilakukannya, maka jangan diharap akan terjadi suatu pencapaian target yang optimal.

Pertaruhan Kredibilitas Kebijakan

Prinsip dibalik penyusunan kerangka kerja makroekonomi pemerintah yang baik dan benar adalah kredibilitas. Dengan adanya kredibilitas, maka akan lebih mudah mengatasi gejolak ekonomi dengan instrumen kebijakan yang diberlakukan oleh otoritas ekonomi. Kredibilitas juga akan menjadi lebih baik ketika terdapat kerangka kerja yang transparan dan accountable, yang pada akhirnya dapat memperkuat legitimasi politik.

Pembuat kebijakan yang kredibel adalah pembuat kebijakan yang dalam membuat kebijakannya memperhatikan faktor transparansi kebijakan. Dengan tingginya tingkat transparansi kebijakan, maka gejolak ekonomi yang terjadi akan dengan mudah ditanggulangi.

Tanpa adanya transparansi, kebijakan mengenai target inflasi dan peraturan fiskal menjadi tidak berguna, karena publik tidak dapat membandingkan antara target dengan realisasi, sehingga dapat memicu terjadinya ketidakseimbangan dalam perekonomian. Pada prakteknya, transparansi ini diwujudkan oleh pembuat kebijakan dengan mempublikasikan analisa mengenai prospek ekonomi masa depan dan juga analisa kebijakan ekonomi yang telah dibuat pada periode sebelumnya.

Kredibilitas pemerintah selaku pembuat kebijakan kini dipertaruhkan. Secara khusus pertaruhan ini merupakan pertaruhan kredibilitas SBY sebagai seorang presiden.. Target yang kontradiktif antara inflasi yang rendah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sudah selayaknya menjadi pertanyaan yang besar. Mungkinkah Presiden Dr. Susilo bambang Yudhoyono bersama dengan teori baru mengenai hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang diusungnya bisa membangitkan Indonesia dari jeratan krisis? Jika memang demikian, pantaslah kita menyebut teori ekonomi terbaru ini sebagai teori inflasi dan pertumbuhan ekonomi ala SBYnomics!

No comments: