Tuesday, March 25, 2008

Telaah RAPBN 2008

Sebuah pemaparan mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) telah disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia, dihadapan Sidang MPR RI, perlu kita telaah lebih dalam hal-hal yang disampaikan oleh Presiden dalam pidato tersebut.

Beberapa poin penting terkait dengan Asumsi yang dijadikan dasar untuk penyusunan RAPBN 2008. Poin-poin tersebut adalah, Pertumbuhan Ekonomi ditargetkan sebesar 6,8 %, Tingkat Inflasi 6%, Nilai Tukar Rp. 9100 per US Dollar,dengan Suku Bunga SBI (3 Bulan) 7,5 %. Asumsi ini tentunya memiliki implikasi terhadap rasio defisit pemerintah sebesar 1, 7 % dari PDB atau setara dengan 75 triliun rupiah.

Pencermatan kebijakan

Dengan besaran defisit yang ada perlu kita cermati langkah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah dalam menutup besaran defisit tersebut. Panitia Anggaran DPR RI, telah menyepakati bahwa arah kebijakan pembiayaan anggaran Pemerintah tahun 2008 adalah Pembiayaan anggaran yang murah dan beresiko rendah, dengan sumber-sumber yang dapat digunakan untuk proses tersebut, adalah penerbitan SUN (Surat Utang Negara) baik Rupiah maupun valas.

Adapun beberapa kebijakan dalam sumber pembiayaan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Pembiayaan melalui Utang menjadi alternatif terakhir dengan memprioritaskan sumber Utang dalam negeri. Kedua, Penjualan Aset PT PPA yang diperoleh dari divestasi aset hak tagih dan aset properti. Ketiga, Kebijakan privatisasi BUMN dengan mekanisme privatisasi melalui IPO (Initial Public Offering).

Dengan peningkatan defisit sebesar 0, 6 % dibandingkan dengan APBN 2007, kondisi ini membuat pemerintah harus lebih taktis dan lebih hati-hati untuk mendapatkan sumber-sumber pembiayaan yang telah disepakati mekanismenya melalui Panitia Anggaran DPR RI.

Melihat perkembangan kebijakan perekonomian yang telah digulirkan oleh pemerintah, timbul sebuah pertanyaan mengenai komitmen dari pemerintah untuk melaksanakan mekanisme pembiayaan yang telah disepakati. Dari ketiga opsi pembiayaan diatas. Pemerintah memiliki kecenderungan untuk menggunakan mekanisme kebijakan dengan mengandalkan pembiayaan melalui utang, hal ini dapat dilihat pada rencana pemerintah untuk menerbitkan SUN pada bulan Maret 2008, selain itu pembahasan mengenai adanya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) mengindikasikan bahwa instrumen ini akn diterbitkan pada tahun 2008.

Hal ini memperlihatkan keraguan pemerintah dalam memandang proses penanganan defisit melalui mekanisme privatisasi dan Penjualan Aset PT PPA. Dengan kelesuan kondisi yang dihadapi oleh tingkat Investasi dan permasalahan politik yang menyertainya, membuat pemerintah akan kesulitan dalam menggunakan opsi-opsi tersebut.

Kondisi pasar global yang tengah bergejolak akhir-akhir ini, menyebabkan ekspektasi dari yield dari SUN dan keuntungan dari IPO tidak berjalan sesuai dengan harapan. Dengan adanya asumsi RAPBN 2008 dimana suku bunga SBI sebesar 7,5%, maka ini bisa menimbulkan larinya modal investasi jangka pendek. Sebagai akibat semakin menipisnya selisih suku bunga SBI dengan Suku Bungan The Fed. Ini dapat menjadi permasalahan besar di tahun mendatang, mengingat struktur moneter lebih banyak didominasi oleh pembiayaan jangka pendek.

Beberapa tantangan pertumbuhan ekonomi

Ada beberapa asumsi yang sedianya harus dipenuhi untuk dapat memenuhi target pertumbuhan ekonomi yang sebesar 6,8% di tahun 2008. Yang pertama adalah peningkatan konsumsi swasta. Pada dasarnya asumsi ini semakin mengkonfirmasi bahwa target pertumbuhan ekonomi ke depan akan menimbulkan efek inflatoir yang cukup signifikan mengingat faktor konsumsi merupakan komponen permintaan agregat yang cukup signifikan. Hal ini tentunya bertentangan dengan target inflasi yang sebesar 6% di tahun 2008.

Pun demikian, jika pemerintah memang benar ingin menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi swasta, fakta dilapangan tampaknya belum dapat menopang harapan ini. Ekspor yang meningkat sementara impor barang modal yang turun menyebabkan terjadinya surplus pada neraca pembayaran. Hal ini sama artinya bahwa permintaan domestik belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan, padahal sektor konsumsi-lah yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka pendek pemerintah harus memperbaiki kondisi permintaan agregat masyarakat dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara secara bersamaan harus dilakukan cara-cara untuk menciptakan peluang investasi. Karena dengan demikian pertumbuhan ekonomi bisa lebih sustainable

Lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi yang sebesar 6,8% tidak akan tercapai tanpa adanya dukungan investasi swasta yang memadai. Pemerintah harus segera menuntaskan pelbagai permasalahan investasi yaitu inefisiensi birokrasi, regulasi ketenagakerjaan dan kepailitan yang kurang menunjang, kurangnya insentif pajak, serta ketidaksiapan infrastruktur pendukung investasi. Yang menjadi PR pemerintah adalah bagaimana menciptakan pertumbuhan yang berkualitas, artinya bagaimana pertumbuhan ekonomi itu mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan. Sebagai tambahan, Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dapat tercapai dengan memprioritaskan sektor tradeable yang tentunya memeliki efek pengganda yang cukup tinggi dalam hal penyerapan tenaga kerja.

Permasalahannya adalah, tingkat investasi di Indonesia memperlihatkan kecenderungan yang negatif, kalaupun ada peningkatan investasi, peningkatan hanya terjadi di sektor-sektor yang padat modal, yaitu sektor yang memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang terbatas. Artinya, untuk kondisi Indonesia yang pertumbuhan ekonominya masih ditopang dari konsumsi, tidak signifikannya pengaruh investasi terhadap penciptaan lapangan kerja, akan semakin mempersulit pemulihan daya beli masyarakat, dimana daya beli masyarakat ini yang sebenarnya diharapkan untuk menunjang laju pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek (2-3 tahun kedepan)

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tentunya dapat dicapai jika pemerintah segera menuntaskan permasalahan yang terkait dengan penyerapan anggaran. Hal ini kemudian merupakan sebuah asumsi berikutnya yang harus dipenuhi guna menopang pertumbuhan ekonomi. Hal ini tentunya agak sulit untuk dipenuhi mengingat masalah penyerapan anggaran belum juga dapat dibenahi oleh pemerintah, hal ini dibuktikan dengan rendahnya realisasi penyerapan anggaran pada triwulan I 2007 yang baru baru mencapai Rp1,3 T, lebih rendah dibanding realisasi periode yang sama tahun 2006 yang mencapai Rp1,7 T , Belum lagi ditambah dengan semakin akutnya masalah institusional yang ada di dalam pemerintah. Kontrol pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah juga dapat menghambat proses penyerapan anggaran yang pada gilirannya memperlambat proses pertumbuhan ekonomi sektoral.

Terkait dengan anggaran belanja barang Kementrian dan Lembaga, Pemerintah berencana untuk melakukan pemangkasan senilai Rp. 30 – 40 triliun. Dana tersebut kemungkinan besar akan dialihkan pada penggunaan belanja modal pembangunan infrastruktur. Departemen pendidikan dan kesehatan ternyata tak luput dari rencana tersebut, meski keduanya memiliki kaitan yang sangat erat dengan peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat. Secara prinsip evaluasi anggaran berdasar pada Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) merupakan hal yang patut didukung. Ditinjau dari daya serap anggaran. Pemangkasan ke 15 departemen tersebut dapat dimaklumi. Karena selain itu, departemen-departemen tersebut memiliki kinerja yang buruk. Namun penurunan anggaran di departemen pendidikan dan kesehatan, marupakan isu yang cukup kontroversial dan tentunya menyalahi amanat dari Undang-Undang Dasar (UUD), Apalagi lemahnya daya serap anggaran tidak sepenuhnya menjadi kesalahan Kementrian dan Lembaga tersebut, melainkan juga disebabkan dari ketidak jelasan perangkat dan aturan main pada level birokrasi. Untuk itu reformasi terkait dengan prosedur belanja dan tender sangat dibutuhkan.

Penutup

Prinsip dibalik penyusunan kerangka penganggaran negara yang baik dan benar adalah kredibilitas. Yakni, memudahkan jalan untuk mengatasi gejolak ekonomi dengan instrumen kebijakan yang diberlakukan oleh otoritas ekonomi. Kredibilitas juga dapat menjadi lebih baik ketika tedapat kerangka kerja yang transparan dan accountable, hingga dapat memperkuat legitimasi politik. Tanpa adanya transparansi, kebijakan dan peraturan fiskal menjadi tidak berguna.

No comments: