Friday, October 17, 2008

DAMPAK KRISIS YANG KINI TERUNGKAP

Jagad ekonomi dunia kembali guncang, lakon utamanya adalah amerika yang sepertinya kian akrab dengan krisis. Krisis subprime mortgage yang berawal pada medio 2006 tampaknya terus berlanjut dan membawa amerika ke lembah krisis yang semakin dalam. Efek negatif dari fenomena ini kemudian menjadi berlipat-lipat tatkala kondisi meraup keuntungan jangka pendek ini menggejala pada lembaga finansial raksasa di Amerika. Celakanya, karena hubungan patronase yang sedemikian lekat antara pasar keuangan dunia dengan pasar keuangan Amerika, imbas negatif juga terjadi di negara-negara lain. Tentu saja Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki fundamental ekonomi yang lemah, tak luput dari keguncangan ini.

Dampak Krisis ke Indonesia

Indonesia sebenarnya tidak akan menerima dampak langsung dari krisis di US, karena instrumen penyebab krisis di US bukan merupakan komponen dominan di pasar keuangan Indonesia. Akan tetapi, pasar keuangan Indonesia bisa mendapatkan dampak tidak langsung berupa imbas ekspektasi negatif pasar (dampak psikologis), sehingga membuat investor panik dan terjangkit. Panic selling pun terjadi dan tanpa dasar yang jelas, dasarnya hanya imbas ekspektasi negatif yang berlaku bak virus yang menjalar dengan cepat. Bursa pun ditutup sementara pada tanggal 9 dan 10 september 2008 yang lalu demi menahan laju penurunan indeks. Mengantisipasi krisis di bursa, pemerintah bersama BI dalam rapat koordinasi terbatas yang dilakukan bersama dengan DPR mengupayakan beberapa langkah antisipatif berupa penguatan sektor perbankan dari kekeringan likuiditas, menjaga pertumbuhan kredit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, mendorong ekspor demi memperkuat neraca pembayaran, menurunkan defisit, mempercepat belanja pemerintah serta menjaga program-program prioritas seperti pengentasan kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran. Akan tetapi, poin-poin antisipasi ini belum menyentuh esensi permasalahan dan kurang fokus. Ketidak jelasan program pun pada gilirannya belum membuat pasar berhenti dari kegelisahannya, apalagi pemerintah dan Bank Indonesia kurang mampu menerjemahkan keabstrakan dari kebijakan menjadi langkah-langkah yang menyentuh sasaran. Alih-alih membuat keadaan menjadi lebih baik, langkah yang diambil cenderung membuat masyarakat menjadi semakin bingung.

Kebijakan Kontradiktif


Pemerintah, dalam usahanya membuat keadaan menjadi kondusif, mengeluarkan beberapa langkah seperti penghapusan aturan nilai wajar efek ditentukan dari nilai pasar (marked to market) untuk surat utang yang dimiliki perbankan, pelonggaran aturan terkait dengan buyback saham, menambah porsi belanja kementerian dan lembaga, pembelian saham BUMN yang terkoreksi secara signifikan serta penegakan hukum oleh otoritas pasar modal terhadap pelaku pasar yang melanggar aturan. Langkah-langkah penyelamatan dan peluncuran likuiditas ini kemudian berusaha dipadankan degan kebijakan dari BI yaitu dengan dinaikkannya suku bunga dari BI rate sebesar 0,25 basis poin dari 9,25 menjadi 9,5 persen.

Langkah yang diambil pemerintah dan BI tidak hanya berlaku sektoral, menyelamatkan pasar finansial, tetapi juga kontradiktif. Disebut sektoral karena langkah pemerintah mem-buy back saham BUMN semakin menjustifikasi sikap pilih kasih dari pemerintah. Dengan mudahnya pemerintah mencairkan anggaran untuk menyelematkan pasar keuangan, tetapi alokasi anggaran pemerintah untuk menaikkan permintaan riil seperti kucuran dana untuk sektor usaha kecil dan menengah justru semakin tidak jelas. Padahal, sektor UMKM ini merupakan kunci utama untuk mengentaskan kemiskinan dan menekan angka pengangguran Langkah pemerintah kemudian diikuti BI dengan caranya sendiri yaitu menaikkan BI rate. Sebuah cara yang diluar kebiasaan mengingat kenaikan tingkat sukubunga sebenarnya justru mengkerutkan likuiditas di pasar, penyaluran kredit menjadi tersendat karena suku bunga yang tinggi tersebut. Masyarakat pun semakin enggan untuk membelanjakan uangnya karena kenaikan suku bunga berlaku laiknya insentif untuk berinvestasi (menyimpan uangnya di bank). Pada gilirannya konsumsi berkurang karena permintaan agregat yang mengkerut, pertumbuhan ekonomi pun menjadi terkendala. Sementara itu, argumen dari Bank Indonesia, kebijakan menaikkan suku bunga itu akan menambah likuiditas di pasar finansial mengingat spread sukubunga antara BI rate dengan suku bunga internasional sudah sedemikian melebar. Memang, melihat tren yang ada, langkah yang diambil BI cenderung merupakan kebijakan yang menentang tren, karena beberapa negara seperti Amerika, Australia, Jepang, Uni eropa, Inggris, Cina, Korea selatan, justru berbondong-bondong menurunkan tingkat suku bunga. Kondisi perbedaan spread ini pada gilirannya diharapkan menghasilkan arus modal masuk (capital inflow). Akan tetapi, model likuiditas seperti ini tidak sehat karena arus modal masuk ini bersifat jangka pendek (hot money) dan sewaktu-waktu bisa kembali mengalir keluar. Sementara itu, dilihat dari sisi pasar saham, kenaikan suku bunga ini akan kemali meluluh-lantakkan pasar karena dengan tingkat suku bunga yang tinggi, harga akan kembali menukik. Memang pasar saham bisa kembali menggeliat dengan adanya liran modal masuk, akan tetapi tentunya ini tidak bersifat fundamental. Hal ini tentunya kontradiktif dengan usaha pemerintah untuk menyelamatkan bursa. Kebijakan ini juga berimbas pada menurunnya kualitas kredit yang diajukan masyarakat, memang likuiditas di pasar bisa meningkat karena perbankan akan lebih leluasa menyalurkan kreditnya dengan menurunnya rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dari 3% menjadi 1 % per 13 Oktober, akan tetapi Bank akan menghadapi permasalahan adverse selection karena hanya masyarakat yang beresiko tinggi saja yang mau mengambil kesempatan mengambil kredit dengan suku bunga yang tinggi, sementara masyarakat yang memiliki resiko rendah masih mempunyai alternatif pembiayaan lain. Dengan kata lain, kebijakan yang diambil BI ini sangat tidak fundamental dan tidak menyentuh aspek yang paling utama yaitu permintaan riil. Kegamangan BI ini ditenggarai terjadi karena laju inflasi yang sudah sedemikian liar (laju Inflasi year on year 12,14%), dan rupiah yang mulai mengamuk (nilai rupiah per dolar AS sempat menyentuh angka Rp 10.000). BI pun dihadapkan pada pilihan, menjaga nilai rupiah dan inflasi atau menambah likuiditas riil ke masyarakat.

Akibat tindakan ini, sektor riil yang sedang mengalami tahap recovery dikhawatirkan akan kembali terjerembab. Selama otoritas fiskal dan moneter masih melakukan langkah-langkah yang bersifat ad hoc, maka publik boleh jadi akan terus bertanya kapan krisis akan berakhir?