Monday, August 17, 2009

Pilihan Kebijakan Ditengah Krisis

Krisis ekonomi yang menjangkiti dunia telah mejadi diskursus yang menarik. Pilihan kebijakan yang efektif menjadi tema yang tak henti-hentinya dibicarakan. Berbicara mengenai kebijakan, otoritas moneter serta fiskal merupakan dua aktor yang memainkan peranan teramat penting. Akan tetapi, dalam hal efektifitas kebijakan, otoritas moneter tampaknya masih lebih unggul dibanding otoritas fiskal. Upaya stimulus fiskal besar-besaran hanya akan berujung pada defisit anggaran yang semakin besar sehingga pada giliranya dapat membebani perekonomian di masa mendatang. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, yang pertama adalah, defisit fiskal yang memperbesar rasio utang pemerintah akan beresiko untuk menaikkan tingkat suku bunga yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat investasi produktif. Yang kedua, semakin besar obligasi pemerintah yang diterbitkan untuk menutupi defisit anggaran malah akan menciptakan crowding out effect. Oleh karenanya, kebijakan moneter sudah selayaknya menjadi tumpuan diskresi para pembuat kebijakan dalam menjinakkan krisis, sebuah pekerjaan yang jauh dari mudah.

Kebijakan Moneter Ditengah Krisis

Krisis kali ini merupakan hal yang tidak biasa, efeknya hanya bisa ditandingi oleh Great Depression berpuluh tahun lampau. Daya jangkit krisis, yang bermula dari Amerika Serikat, sedemikian besarnya sehingga mampu mengkontrasi pertumbuhan ekonomi di beberapa Negara tak terkecuali Indonesia. Ditahun 2009 ini, krisis sepertinya masih enggan untuk beranjak, sebagaimana dapat dilihat dari kinerja ekspor yang masih jauh dari harapan. Menurut data yang dilansir oleh BPS, secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Mei 2009 mencapai US$40,74 miliar atau menurun 29,24 persen dibanding periode yang sama tahun 2008, sementara ekspor nonmigas mencapai US$35,05 miliar atau menurun 21,19 persen. Melemahnya daya permintaan pasar global serta adalah aktor utama dibalik menukiknya kinerja ekspor.
Sementara itu dari sisi permintaan agregat, data inflasi bulanan bisa dijadikan parameter krisis. dimana pada bulan Januari tahun 2009 terjadi deflasi sebesar 0,07 % yang secara akumulatif hingga bulan Juli 2009 menciptakan inflasi sebesar 0.65%, salah satu yang paling rendah dalam 10 tahun terakhir. Tren ini secara tidak langsung mengindikasikan terkontraksinya permintaan masyarakat. Kondisi ini tentunya cukup mengkhawatirkan mengingat dalam kurun waktu 9 tahun terakhir (2001 – sekarang), struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata ditopang oleh konsumsi rumah tangga sebagai sumber pertumbuhan terbesar. Pada tahun 2001 misalnya, konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi sebesar 67,32 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sementara, pada tahun 2002, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan 223 basis points (bps) jika dibandingkan tahun 2001, yakni dari 67,32 persen meningkat menjadi 69,55 persen. Hal yang perlu diketahui, dari tahun 2001 hingga 2004, nilai kontribusi konsumsi rumah tangga sebagai penopang terbesar PDB masih berfluktuatif dengan tren terus menaik. Namun, sejak tahun 2008 hingga triwulan pertama tahun 2009, nilai kontribusi konsumsi rumah tangga sebagai penopang terbesar PDB terus mengalami tren penurunan.
Dalam upayanya menstimulasi permintaan agregat, Bank Indonesia telah memangkas BI rate hingga 200 basis poin (dari 8,75% di bulan Januari hingga 6,75% di bulan Juli) di tahun 2009. Hanya saja, kebijakan konvensional seperti ini belum memberikan dampak yang signifikan sehingga kebijakan moneter yang berada diluar pakem merupakan sebuah kemestian.

Kebijakan Moneter Alternatif
Kebijakan moneter alternatif ini setidaknya terdiri dari tiga bagian, yang pertama adalah efek komitmen. Kebijakan ini mensyaratkan adanya komitmen verbal dari otoritas moneter untuk mempertahankan tingkat suku bunga yang rendah dalam periode tertentu. Ide dasarnya sangat sederhana, meskipun bank sentral terus melakukan rally panjang penurunan suku bunga akan tetapi pasar belum mendapatkan gambaran utuh tentang kebijakan moneter di masa depan. Komitmen verbal ini tentunya menjadi jaminan bagi pasar yang pada gilirannya dapat menurunkan kurva imbal hasil (yield curve) jangka panjang. Dengan demikian mekanisme transmisi moneter dan intermediasi perbankan yang selama ini terkendala oleh tinggunya suku bunga akan kembali berjalan normal.
Alternatif yang kedua adalah kebijakan kelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing). Agenda dari kebijakan ini adalah untuk melonggarkan giro wajib minimum perbankan dimana hal ini diharapkan mampu mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat. ekspansi kredit perbankan tentuya merupakan sebuah kecukupan untuk mendongkrak laju permintaan agregat. Lebih lanjut, kebijakan ini bisa menciptakan sebuah sinyal yang jelas dari bank sentral dalam upayanya mempertahankan kebijakan suku bunga rendah.
Alternatif yang terakhir yang tidak kalah penting adalah kebijakan kelonggaran kualitatif (Qualitative Easing). Dalam konteks ini, otoritas moneter diharapkan bisa berkoordinasi dengan pemerintah dalam hal pembelian Surat Utang Negara (SUN). Secara natural, SUN memiliki dimensi jangka panjang dimana hal ini mempunyai implikasi terhadap kurva imbal hasil yang tinggi. Dengan adanya komitmen Bank sentral dalam menyerap SUN, kurva imbal hasil bisa memiliki rerata yang rendah. Dengan kata lain, tingkat suku bunga di pasar secara umum bisa lebih dikendalikan pada level yang rendah. Secara khusus dalam kebijakan kelonggaran kualitatif, KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) bisa kembali dihidupkan pada kondisi pasar kredit yang terlalu ketat.

Beberapa Syarat
Alternatif kebijakan ini hanya akan berjalan jika didukung oleh beberapa faktor. Yang pertama adalah figur pejabat otoritas moneter yang disegani pasar. Idealnya, Gubernur Bank Indonesia merupakan figur yang kuat dimana setiap komitmennya dipercaya penuh oleh pasar. Syarat yang kedua adalah koordinasi yang efektif antara otoritas fiskal dengan otoritas moneter, Karena dengan tingkat independensi dari otoritas moneter yang tinggi sekalipun, jika tidak didukung oleh kebijakan fiskal yang baik maka tujuan dari otoritas moneter bisa jadi tidak akan tercapai. Sebagai kesimpulan, kebijakan yang baik muncul apabila pembuat kebijakan dan institusi pembuat kebijakan mempunyai kemampuan untuk secara cepat bereaksi terhadap terjadinya gejolak ekonomi yang tidak terduga. Kebijakan yang sifatnya diskresi penuh berakibat pada lunturnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Tetapi kebijakan yang terlalu rigid juga tidak terlalu memberikan efek yang positif, yaitu adanya ketidakmampuan untuk secara cepat bereaksi terhadap gejolak ekonomi. Kebijakan yang lebih tepat untuk diterapkan adalah kebijakan diskresi yang terukur, dimana kebijakan ini akan membantu membangun terjadinya kredibilitas kebijakan jangka panjang